Apa sih Bonus Demokrasi itu?
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Bonus
adalah keuntungan atau gratifikasi yang biasanya bersifat menggembirakan bagi
siapapun yang menerimanya. Banyak orang berharap bisa menerima bonus. Misalnya,
bonus (pembayaran tambahan di luar gaji) dari kantor, bonus saat berbelanja,
bonus penggunaan sarana/prasarana, dan sebagainya. Tahukah Anda, ada juga bonus
yang diharapkan oleh suatu negara? Bonus itu berasal dari aspek kependudukan
yang disebut ‘bonus demografi’. Bonus macam apa itu?
Bonus demografi (demografic dividend) merupakan
keuntungan/peluang yang akan didapat oleh suatu negara jika mencapai kondisi
rasio ketergantungan rendah karena jumlah penduduk usia produktif (15−64 tahun)
lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk usia nonproduktif (anak-anak dan
lansia). Kondisi itu dapat terbaca dari perubahan komposisi penduduk menurut
umur. Rendahnya rasio ketergantungan (dependency ratio) menguntungkan secara
ekonomis karena berpotensi mendukung peningkatan kesejahteraan penduduk.
Besarnya proporsi penduduk usia produktif juga berguna bagi kelangsungan
pembangunan.
Data yang
diperoleh Badan Pusat Statistik (2010) menunjukkan bahwa komposisi penduduk
Indonesia didominasi oleh penduduk usia muda, jumlah anak kelompok usia 0-9
tahun sebanyak 45,93 juta, sedangkan anak usia 10-19 tahun berjumlah 43,55 juta
jiwa. Sehingga dari sini dapat diproyeksikan pada rentang tahun 2020-2030
Indonesia akan dipenuhi dengan usia produktif, inilah yang disebut bonus demografi. Berbagai
spekulasi pun muncul dari para ahli kependudukan dan ekonom terkait masa depan
Indonesia saat mengalami bonus demografi kelak.Pertanyaannya, Apakah Indonesia
mampu mengambil keuntungan dari bonus demografi ini?
Menurut Endang Srihadi, Peneliti Bidang Sosial The
Indonesian Institute, untuk meraih keuntungan bonus demografi, ada empat
prasyarat yang harus dipenuhi. Pertama, penduduk usia muda yang meledak
jumlahnya itu harus mempunyai pekerjaan produktif dan bisa menabung. Kedua,
tabungan rumah tangga dapat diinvestasikan untuk menciptakan lapangan kerja
produktif. Ketiga, ada investasi untuk meningkatkan modal manusia agar dapat
memanfaatkan momentum jendela peluang yang akan datang. Keempat, menciptakan
lingkungan yang memungkinkan perempuan masuk pasar kerja.
Para ahli
menyebut, tahapan bonus demografi Indonesia sudah dimulai sekitar tahun
1990-an. Sebagaimana umumnya bonus, bonus demografi tidak datang seketika namun
merupakan dampak dari upaya yang telah dilakukan dalam jangka panjang. Menurut
mereka, tahapan bonus demografi Indonesia merupakan dampak keberhasilan Program
Keluarga Berencana (KB) yang telah dilaksanakan sejak tahun 1970-an. Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat, keberhasilan
Program KB nasional menurunkan tingkat fertilitas dapat dirasakan pada era
80-an. Pada era itu jumlah penduduk usia <15 tahun mulai menurun, dan
sebagai kelanjutannya terjadilah peningkatan jumlah penduduk usia produktif
serta penurunan jumlah penduduk usia nonproduktif. Dengan kata lain
keberhasilan Program KB berdampak pada menurunnya rasio ketergantungan yang
menjadi pintu masuk perolehan bonus demografi.
Para ilmuwan
memprediksikan bahwa jika rasio ketergantungan terus menurun maka Indonesia
berpotensi mengalami fase puncak bonus demografi mulai tahun 2020 hingga
sekitar tahun 2025−2030 (dan selanjutnya akan terus menurun/menghilang). Bahkan
mereka memperkirakan pada pertengahan periode 2020−2030 terjadi suatu peluang
yang disebut ‘window of opportunity’, di mana saat itu rasio ketergantungan
akan berada pada titik terendah, yaitu sekitar 44−46%
Berbagai
strategi telah ditetapkan Pemerintah untuk memanfaatkan peluang bonus demografi
ini. Pemerintah telah menetapkan konsep ‘cantik’ yang akan mengintegrasikan 3
elemen utama, yaitu (1) mengembangkan potensi ekonomi; (2) memperkuat
konektivitas nasional yang terintegrasi secara local dan terhubung secara
global; (3) memperkuat kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan IPTEK nasional
untuk mendukung pengembangan program utama di setiap koridor ekonomi. Selain
itu Pemerintah juga telah menetapkan strategi “Full Participation” dalam rangka
meningkatkan produktivitas penduduk usia produktif. Tentu saja harapan besar
bagi kemajuan bangsa ini terletak pada ‘punggung’ kaum muda usia produktif.
Kaum muda dengan sejuta potensinya akan mampu membawa
perubahan bagi bangsa. Tengoklah kondisi negeri ini, di tengah arus
globalisasi, Indonesia masih belum mampu bersaing dengan negara maju. Bagaimana
bisa, jika kedaulatan negeri ini masih tetap ‘digadaikan’ demi kepentingan
asing. Dengan ringan tangan Pemerintah memberikan pengelolaan tambang, Freeport
misalnya, yang telah menandatangani kontrak karya baru dengan masa berlaku 30
tahun berikut dua kali perpanjangan 10 tahun pada 1991 dan akan berakhir 2041
nanti. Royalti yang diberi Freeport kepada pemerintah hanya satu persen untuk
emas, sedangkan royalti tembaga 1,5 hingga 3,5 persen (Republika, 29/06/2012).
Tak ketinggalan pula kasus korupsi, kemiskinan, saparatisme, dan rentetan
masalah lainnya yang sedang melanda Indonesia. Akankah kaum muda Indonesia
mampu membawa perubahan bagi negeri ini?
Sementara itu, kondisi pemuda Indonesia saat ini begitu
memprihatinkan. Laporan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, setiap menit ada
empat anak yang putus sekolah. Bahkan pada tahun 2010 usia sekolah yakni 7-15
tahun yang terancam putus sekolah sebanyak 1,3 juta. Seiring dengan penerapan
sistem saat ini (baca: Kapitalisme) yang mengagungkan ide kebebasan, ide
kebebasan perilaku pun telah merasuki pemikiran para pemuda. Gaya ‘membebek’
mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari demi sebuah predikat ‘anak gaul’.
Bahkan saat ini semakin tampak perilaku seksual remaja yang kebablasan. Hasil
survei terakhir oleh Komisi Perlindungan Anak (KPA) terungkap bahwa 97% remaja
pernah menonton atau mengakses
pornografi, dan 93% pernah berciuman, sedangkan 62,7% pernah berhubungan badan
serta 21% remaja telah melakukan aborsi. Sistem Kapitalisme ini seolah makin
menjerat para pemuda agar terjebak dalam arus liberalisasi seks. Apakah negeri
ini masih bisa berharap pada para pemuda?
Bonus demografi merupakan peluang besar bagi sebuah negara.
Masa ini juga pernah dialami oleh negara Jepang hingga akhirnya mampu
menjadikan negeri ini sebagai salah satu negara maju yang patut diperhitungkan.
Tidak heran jika peluang ini sangat diidam-idamkan oleh setiap negara. Jika
peluang bonus demografi ini tetap dimanfaatkan dalam sistem Kapitalisme tentu
akan sangat sulit untuk bisa mewujudkan Indonesia sebagai negara yang bangkit.
Pasalnya, sistem ini hanya mampu mewujudkan kebangkitan ‘semu’. Lihat saja
sebagaimana yang telah terjadi di negara Amerika dan Eropa. Meski masih
terlihat sebagai negara maju, negara-negara tersebut telah sering kali
mengalami kegagalan ekonomi, sebagaimana terjadinya krisis global tahun 2008
lalu yang masih berdampak hingga kini.
Apa Persiapan Kita untuk Memetik Bonus Maksimal?
Pada satu sisi fase bonus demografi
memang menguntungkan. Rasio ketergantungan yang rendah sangat menguntungkan
karena anggaran negara yang semestinya diperuntukkan bagi usia nonproduktif
bisa dialihkan untuk pembangunan sektor-sektor lain secara lebih merata.
Keuntungan juga diperoleh dari melimpahnya penduduk usia produktif karena
berpotensi memicu pertumbuhan ekonomi, yang selanjutnya akan meningkatkan
kesejahteraan penduduk. Namun sebaliknya, fase bonus demografi akan berpotensi
menjadi bumerang yang membawa bencana. Hal itu akan terjadi jika ledakan jumlah
penduduk usia produktif tidak seluruhnya terserap dalam pasar kerja. Tanpa
lapangan kerja, melimpahnya usia produktif identik dengan ledakan pengangguran.
Meningkatnya pengangguran tentu akan berdampak buruk bagi stabilitas ekonomi
maupun sosial.
Jadi,
apakah fase bonus demografi—terutama window of opportunity—akan menguntungkan
ataukah membawa bencana, semuanya tergantung pada persiapan yang dilakukan.
Kepala BKKBN—dalam sambutan pada acara Pembukaan Seminar Internasional
Mengoptimalkan Manfaat Bonus Demografi untuk Kemajuan Bangsa dan Kesejahteraan
Penduduk (Jakarta, 22 Agustus 2013)—menyebutkan empat syarat yang harus menjadi
perhatian pemerintah agar fase window of opportunity menjadi sumber daya
pembangunan. Keempat syarat itu adalah: 1) penduduk harus berkualitas; 2)
penduduk usia produktif harus terserap dalam pasar kerja; 3) meningkatnya
tabungan di tingkat rumah tangga; 4) meningkatnya jumlah perempuan yang masuk
pasar kerja.
Di
antara prasyarat tersebut, masalah paling krusial yang terlihat jelas dan harus
diwaspadai oleh pemerintah adalah urgensi ketersediaan lapangan kerja bagi usia
produktif yang akan melimpah. Selain penyediaan lapangan kerja, hal penting
yang perlu dipersiapkan adalah lahirnya sumber daya manusia (SDM) yang
berkualitas—berpendidikan cukup, sehat jasmani dan rohani, kreatif serta
memiliki daya saing. Usia produktif yang tidak berkualitas cenderung hanya akan
menjadi beban negara.
Oleh
karena itu, agar kelak lonjakan penduduk usia produktif tidak menjadi ancaman,
pemerintah perlu melakukan berbagai bentuk persiapan secara fisik maupun
nonfisik—termasuk yang berhubungan erat dengan kebijakan dan regulasi. Berikut
di antaranya:
* Mengupayakan peningkatan ketersediaan lapangan kerja dan
juga standar upah minimal.
* Memaksimalkan anggaran pendidikan dan mengalokasikannya
secara tepat terlebih untuk memeratakan sarana-prasarana untuk mendukung
program wajib belajar 12 tahun.
* Terus berupaya menekan angka putus sekolah sekaligus meningkatkan
jenjang pendidikan yang ditamatkan oleh penduduk usia sekolah.
* Meningkatkan pusat-pusat pendidikan bersifat vokasional
(semacam sekolah kejuruan) yang mengedepankan penguasaan keterampilan dari
peserta didiknya (seperti bahasa, komunikasi, teknologi informasi, dsb.).
* Mengupayakan peningkatan kompetensi profesional penduduk
usia produktif (keahlian dan keterampilan) agar mampu bersaing dalam pasar
bebas—terutama menyongsong era pasar bebas ASEAN 2015 (Masyarakat Ekonomi
Asean/Asean Economic Community). Misalnya dengan memaksimalkan peran Balai
Latihan Kerja Indonesia (BLKI) hingga ke tingkat kecamatan/kelurahan.
* Menciptakan iklim/peluang kewirausahaan serta mendorong
tumbuh-kembang industri kreatif dan industri rumah tangga, termasuk bagi para
ibu rumah tangga. Seperti halnya tenaga kerja, perlu diupayakan agar produk
lokal berterima dan mampu bersaing di pasar bebas.
* Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dengan
memaksimalkan anggaran negara untuk peningkatan dan pemerataan sarana-prasarana
kesehatan.
* Mengupayakan lahirnya kebijakan-kebijakan yang populis
serta berpihak pada realisasi atas berbagai gerakan/upaya yang telah disebutkan
di atas (meliputi bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, pemberdayaan
perempuan, dsb.).
Berbagai upaya potensial dan sudah berdampak nyata yang
mungkin selama ini telah dilakukan oleh pemerintah perlu terus ditingkatkan.
Pada pokoknya pemerintah diharapkan terus-menerus mengupayakan perbaikan
strategi dan pemerataan di seluruh wilayah Indonesia.
Adakah Peran Masyarakat Dibutuhkan?
Pemerintah bertanggung jawab atas keberhasilan bangsa ini memetik
keuntungan secara optimal dari fase bonus demografi terlebih pada ‘window of
opportunity’. Hal itu sudah pasti! Sebagai penanggung jawab utama, pemerintah
bertugas mempersiapkan segala sarana-prasarana dan juga kebijakan terkait.
Namun perlu kita sadari bahwa sebanyak apapun upaya pemerintah, tidak satu pun
akan berhasil tanpa peran serta masyarakat.
Pemerintah tidak dapat bergerak sendiri! Kita—seluruh elemen
masyarakat—harus berperan sebagai penopang/pendukung demi terealisasinya segala
program persiapan yang diupayakan pemerintah. Lewat cara apa masyarakat bisa
berperan? Masyarakat bisa mendukung—secara pribadi maupun kelompok—di antaranya
lewat beberapa cara berikut!
* Merealisasikan kesadaran akan arti penting pendidikan,
baik formal maupun nonformal. Keluarga dan masyarakat bertanggung jawab
mengupayakan pendidikan bagi anak usia sekolah; membekali anak dengan berbagai
keterampilan (bahasa, komunikasi, teknologi informasi, dll.); dan sebagainya.
* Turut mengupayakan lahirnya generasi muda
berkualitas—sehat jasmani rohani, kreatif, dan berdaya saing. Setiap keluarga
harus berupaya menjaga asupan gizi, menjaga ketekunan dalam kehidupan religius,
dan menumbuhkan kreativitas bagi anak-anaknya.
* Mengupayakan peningkatan ekonomi keluarga melalui
pengembangan usaha berbasis rumah tangga (wirausaha). Misalnya, membuat usaha
kuliner, jahit-menjahit, dll.
* Menumbuhkan mental wirausaha di kalangan generasi muda.
Dengan demikian pada usia produktif mereka tak hanya bergantung pada keberadaan
lapangan kerja, sebaliknya berupaya menciptakan lapangan kerja bagi diri
sendiri dan orang-orang di sekitarnya.
Berbagai
cara di atas hanyalah sebagian contoh sederhana. Kita masih bisa memikirkan dan
mengupayakan cara-cara lain yang mungkin lebih inovatif. Pada prinsipnya
masyarakat pun perlu berperan aktif untuk merealisasikan raihan bonus demografi.
Akhirnya kita tau bahwa tentulah seluruh elemen bangsa menaruh harapan
besar agar fase bonus demografi terutama pada puncaknya ‘window of opportunity’
menjadi peluang emas bagi kemajuan dan peningkatan kesejahteraan bangsa
Indonesia. Harapan yang dilengkapi dengan persiapan matang menjadi satu-satunya
pilihan. Sebab, ketidaksiapan kita untuk menerima bonus demografi itu justru
akan membawa bangsa Indonesia ke dalam jurang bencana.
copasnya nampak kali :v
ReplyDeletebacot kek bisa aja buat yang kek gini
Deletehehehehe
ReplyDelete