Thursday, October 13, 2016

I Regret Ever Working in South Pole (Final)

I REGRET WORKING IN SOUTH POLE

PART 5 (FINAL)

Keesokan harinya, listrik menyala, namun cahaya lampunya masih pudar. Mendadak, kami mendengar suara musik dari kamar mandi. Penasaran, kami berdiri dan berjalan bergerombol, lantas melongok ke dalam kamar mandi. Aku mendengar lagu itu, "Jesus Take the Wheel," berkumandang berulang-ulang. Di dalam kamar mandi, kami melihat si ahli fisika. Dia telanjang bulat, duduk membelakangi kami di lantai ubin, sebuah iPod terletak di depannya. Di bawah tubuhnya, kami melihat genangan darah, mengalir menuju lubang pembuangan.

Perlahan-lahan, dia menoleh ke arah kami. Dia menatapku, lalu mengangkat jarinya ke mulut, tersenyum dan mendesis, "ssstt..."

Dengan tangan lainnya, dia mengangkat alat kelaminnya yang telah dipotong. Matanya tertutup, namun senyumnya lebih mirip seringai. Dia berbisik, "aku suka lagu ini sekarang."

"Ya, Tuhan," gumam si dokter. Dia perlahan menghampiri si ahli fisika, berusaha membuatnya tetap tenang. "Tak apa-apa, nak, aku akan menolongmu."

Si ahli fisika cekikikan, matanya masih tertutup dan mulutnya masih menyeringai. Saat si dokter semakin dekat, si ahli fisika mendadak menjerit dan melompat. Dia menabrak si dokter sampai terjatuh, lantas menindihnya, dan menggigit lehernya kuat-kuat, tepat di nadi jugularnya. Darah muncrat membahasi giginya dan leher si dokter. Sementara si dokter sekarat sambil tercekik darahnya sendiri, si ahli fisika kini berdiri dan menatap kami dengan kejam, nampaknya berniat menyerang kami. Saat dia siap menerjang, mendadak kami mendengar suara letusan keras. Aku terjatuh lantaran telingaku mendadak berdenging menyakitkan.
Ketika dengingan itu berhenti, aku melihat si ahli fisika terbaring tewas di kamar mandi. Di keningnya ada luka tembak bundar yang menembus sampai ke belakang tengkoraknya. Salah satu anggota tim maintenance memegang pistol yang masih berasap.

Sekarang kami tinggal berempat. Aku, si ahli biologi, dan dua orang maintenance. Yang lainnya sudah tewas, atau hilang. Walaupun listriknya sudah menyala, tetapi masih belum ada sinyal radio dan Wifi. Kami panik dan gelisah, sampai akhirnya salah satu orang maintenance berkata, "tidak ada cara lain. Aku harus memperbaiki piringan satelit untuk mendapatkan sinyal. Itu satu-satunya harapan kita."

Aku menatapnya, sadar dia benar. Di luar sana masih dingin dan gelap karena badai masih menderu.

"Aku akan pergi," ujar si orang maintenance.

"Baiklah, aku ikut denganmu," temannya berkata.

Setelah mereka pergi, tinggal aku dan si ahli biologi, berdua. Kami menatap kepergian kedua orang maintenance itu, yang terbungkus jaket tebal, keluar menembus badai. Kami menunggu selama berjam-jam, menanti datangnya sinyal radio dan wifi.

Dan menunggu.

Dan masih menunggu.

Lama kemudian, walaupun aku dan si ahli biologi tak saling bicara, kami akhirnya menyadari satu hal: kamilah yang tersisa dari tim kami.
Si ahli biologi akhirnya menangis di pangkuanku, sampai dia tertidur kelelahan. Aku sendiri sangat lelah, namun sebelum menutup mata, aku merasa mendengar suara cekikikan, seperti suara anak kecil.

Aku tak ingat kapan aku terbangun, tapi kemudian aku menyadari kalau aku sendirian. Aku meneriakkan nama si ahli biologi. Aku membuka setiap kamar dan ruangan, sampai akhirnya aku menemukannya di ruang percobaan.

Si ahli biologi duduk bersandar di belakang meja. Dia telah menulis sepucuk surat indah tentang "ingin melihat dunia luar sebelum mati." Di salah satu tangannya, ada jarum suntik kosong yang nampaknya telah dia gunakan untuk mengakhiri hidupnya. Kedua matanya terbuka dan menatap kosong. Aku perlahan mundur, meninggalkannya dalam damai.

Sekarang, kalau kau membaca surat ini, kau akan tahu bahwa mungkin ini saat-saat terakhir dimana aku bisa berpikir jernih. Aku berusaha menjelaskan padamu mengapa kami semua dibawa ke neraka beku ini, hanya untuk mati satu-persatu; aku berusaha menjelaskan semuanya sebelum aku menaruh pistol ini di mulutku dan menembakkannya.

Setelah melihat mayat si ahli biologi, aku kembali ke kantorku. Aku merasa lemah dan histeris di saat yang bersamaan. Ketika melihat cermin, aku melihat wajahku yang seputih hantu dan mataku yang seolah jadi hitam sepenuhnya. Ini membuatku meninju cermin itu sampai pecah berkeping-keping. Ketika kepalan tinjuku tergores, aku sedikit tersadar, dan saat itulah, aku melihat sehelai kertas di tengah-tengah pecahan kaca. Di kertas itu, tertempel sebuah foto.

Inilah tulisannya:

"Jika kau sempat membaca ini, kuharap semuanya belum terlambat bagimu. Tempat ini tidak seperti yang kau bayangkan. Earl, si pemilik proyek, bukan orang religius sinting yang kebanyakan uang; dia orang yang jauh lebih berbahaya. Kau mungkin sudah menemukan peti terkunci itu. Di dalamnya, ada beberapa benda kecil diletakkan untuk membuatmu takut. Mungkin ada pendeta di timmu yang akan segera menyebut bahwa peti itu 'jahat.' Itu semua sudah diatur. Dan debu hitam yang melayang dari dalam peti itu? Itu bukan debu dan bukan saripati iblis.

Pernahkah kau membayangkan kenapa kalian ditempatkan begitu jauh dari pangkalan lainnya?

Karena fasilitas kalian sebenarnya adalah TEMPAT PENGUJIAN SENJATA KIMIA.

Kalian semua telah dipilih sebagai obyek penelitian senjata kimia oleh perusahaan swasta. Debu hitam itu adalah bahan kimia dengan komposisi tak terlacak, dengan serat patogen yang bisa menimbulkan psikosis dan halusinasi, dan dimaksudkan untuk mengincar para pejabat penting dan bahkan pemimpin dunia. Prinsipnya adalah membuat musuh membunuh diri mereka sendiri. Jika kau sempat menghirup debu hitam itu, sudah terlambat bagimu. Satu-satunya yang bisa kau lakukan adalah memastikan pesan ini dibaca seseorang.

Jangan percaya pada orang-orang maintenance dan si terapis pria. Mereka semua bekerja untuk Earl. Mereka akan menghilang tanpa jejak segera setelah Earl berkunjung ke tempatmu. Mereka telah mencatat rutinitasmu, sehingga walaupun badai salju berakhir dan kau bisa pergi, kau akan dikejar dan dibunuh.

Maafkan aku. Aku sudah kehilangan semua anggota timku. Aku berharap kau tak pernah datang.
Maafkan aku -- Dave."

Foto yang tertempel di surat itu nampaknya adalah anggota tim sebelumnya. Ada seorang pria yang wajahnya dilingkari spidol merah, dengan tulisan "ini aku."

Dia adalah si pria berjaket jingga dengan wajah mirip tikus itu.

End

Tuesday, October 11, 2016

I Regret Ever Working in South Pole (4)

I Regret Ever Working In South Pole

part 4

Sebutir air mata menetes setelah dia mengucapkannya. Aku belum pernah melihatnya seperti itu. Tapi aku tahu maksudnya. 'Dibbuk' adalah salah satu sebutan untuk iblis dalam bahasa Ibrani.

"Ayolah, kau tak bisa percaya kalau..."

"Tidak!" Serunya tiba-tiba, memotong kata-kataku. "Kau juga pasti tahu kalau ada yang salah dengan tempat ini! Membuatmu gila! Minggu-minggu pertama, aku mendengar langkah kaki di kamar mandi setiap pagi, sebelum aku menyadari kalau aku sendirian!"

"Dengar," ujarku tegas, menaruh tanganku di bahunya. "Kita akan baik-baik saja."

Aku berharap aku jujur sepenuhnya saat berkata begitu, tapi sejujurnya, peti itu memang memberi perasaan aneh. Malam itu, aku terbangun oleh suara langkah kaki yang nyaring, cukup nyaring sehingga aku bisa mendengarnya lewat earphone-ku. Aku mengecek keadaan di luar kamarku, tapi tidak ada siapa-siapa. Samar-samar, aku mendengar isak tangis dari kamar si pasangan suami istri, tapi aku tak mau mengganggu mereka. Ini memang masa-masa yang sulit.

Ketika aku kembali ke kamarku, aku berjalan melewati kafetaria...dan melihat pemandangan paling mengerikan yang pernah kulihat seumur hidupku.

Semua meja dan kursi nampak berantakan dan terbalik. Makanan berceceran di tembok dan langit-langit. Di tengah-tengah ruangan, ada salib besi besar berkarat...dengan tubuh Jack terpaku di sana. Dia berlumuran darah dari kepala sampai kaki, dan matanya nampak seolah semua pembuluhnya meletus. Kawat berduri membelit lengan dan kakinya, dan pasak-pasak besar menembus pergelangan lengan dan kakinya.

Mata kami bertemu, dan mendadak tubuhnya bergetar, lantas mulutnya terbuka dan mengeluarkan teriakan,

"BELPHEGOR!"

Detik berikutnya, aku lepas kendali. Aku terjatuh ke belakang, lantas merangkak keluar sambil menjerit kuat-kuat. Semua orang langsung keluar dari kamar dengan bingung, bertanya apa yang terjadi. Aku menyadari kalau aku buang air di celana. Dengan gemetar dan berurai air mata, serta napas tersengal, aku menunjuk ke dalam kafetaria.

Tapi di dalam tidak apa-apa. Semuanya normal. Tidak ada kekacauan. Tidak ada salib. Tidak ada Jack.

Tiga jam kemudian, aku tersadar di sofa ruang rekreasi, tubuhku tertutup selimut. Jane, si terapis wanita, tertidur di sofa lain di depanku. Aku yakin dia pasti kecewa melihat sikapku yang tidak profesional. Ketika aku berdiri, semua orang nampaknya sudah tidur, sementara badai salju masih menderu di luar. Aku berjalan menyusuri lorong dan mendengar isak tangis dari kamar pasangan suami istri ahli geologi. Aku menyadari bahwa mereka mungkin perlu pertolongan. Aku mengetuk pintu mereka dengan lembut, namun suara tangisan tetap berlanjut. Aku hendak mengulang ketukanku, namun tiba-tiba merasa sangat mual. Aku lari ke kamar mandi dan muntah di kloset. Ketika berdiri sambil mengusap mulut, aku melihat sekelebat bayangan meninggalkan kamar mandi, tinggi dan gelap.

"Cukup sudah," pikirku, dan memutuskan kembali ke kamarku. Tidurku gelisah malam itu, dan aku terbangun ketika seseorang mengguncang lenganku.

"Bangun."

Pelan-pelan, aku berusaha memfokuskan pandangan, sebelum melihat salah satu anggota tim maintenance berdiri di atasku.

"Lampunya mati, dan ada orang yang hilang."

Aku berdiri dengan grogi, tapi dia sudah keluar. Aku mendengar suara-suara dari kafetaria dan bergegas ke sana. Ketika aku masuk ke kafetaria, lilin dinyalakan di beberapa meja. Aku melihat si ahli biologi, Jane si terapis wanita, si dokter Finlandia, dan orang maintenance yang satu lagi. Mereka melihatku, dan si orang maintenance bertanya,

"Wah, wah, coba lihat siapa ini. Mau menakut-nakuti kami lagi, pak pendeta?"

Aku tidak tersenyum atau menyahut. Aku duduk di sebelah si dokter dan bertanya mana si suami istri ahli geologi.

"Mereka tidak menjawab ketika aku mengetuk," ujar Jane, matanya nampak tua dan lelah. "Si terapis yang satu lagi juga tidak ada."

"Kita akan pergi," ujar si ahli biologi. "Setelah badai salju berhenti, kita pergi. Persetan dengan kontrak."

"Bagaimana caranya? Kita berjarak ribuan mil dari pangkalan terdekat," aku benci jadi orang yang negatif, tapi aku tak mau kami mempertaruhkan nyawa hanya karena demam kabin begini.

"Aku punya ide," ujar si orang maintenance yang membangunkanku tadi, "kita punya kendaraan seluncur. Kita akan muati dengan semua jerigen bensin yang kita punya, lalu kita pergi sejauh 50 mil ke pos kecil terdekat yang punya sambungan radio. Kita punya GPS, dan kita akan pergi bergiliran."

"Semua setuju?" Tanya si dokter. Semuanya mengangguk.

"Kalau begitu," lanjutnya, "sebaiknya kita tinggal dulu di sini selama beberapa hari, mudah-mudahan anggota tim yang hilang kembali. Kalau mereka tidak ada...yah, sebaiknya kita minta maaf pada mereka di neraka."

Hari-hari berikutnya, aku menghabiskan waktu dengan pikiran berkabut. Aku tak tahu kenapa, tapi kami semua begitu gelisah. Kami duduk bersama di kafetaria yang gelap, saling berdekatan. Kami mencoba mengobrol untuk mengisi keheningan. Cahaya lilin seolah memainkan trik di depan mata kami, namun kegelapan di sekeliling kami terasa sangat menekan. Kami hanya duduk, dan menanti.

Akhirnya, Jane menyeletuk bahwa kami sebaiknya memeriksa keadaan suami istri ahli geologi itu. Kami berjalan berdekatan, dan mendengar suara isak tangis dari kamar mereka.

Jane mengetuk. Menunggu. Mengetuk lagi. Kemudian dia berseru bahwa dia akan masuk, tapi pintunya terkunci. Salah satu orang maintenance menggedor-gedor pintu, dan akhirnya mengancam akan mendobrak masuk. Akhirnya, dia memutuskan mengutak-atik kuncinya. Setelah berhasil, dia membuka pintu perlahan-lahan.

Pemandangan di dalam adalah mimpi buruk.
Hal pertama yang kulihat adalah darah dimana-mana. Di dinding, kasur, langit-langit, dan lantai. Darah memercik ke lampu yang menyala dan membanjiri kamar dengan sapuan warna merah. Si ahli geologi pria terbaring di kasur. Matanya melotot dan mulutnya menganga dalam ekspresi terkejut. Tenggorokanya koyak, dan kakinya nampak seolah sudah dikunyah-kunyah sampai ke tulang-tulangnya. Istrinya duduk di sampingnya dengan punggung menghadap kami. Ketika dia berbalik, dia juga berlumuran darah. Dia masih menangis, sambil mengunyah sesuatu. Serpihan daging sesekali muncrat keluar dari mulutnya saat dia terisak. Ekspresinya mendadak berubah dari sedih menjadi marah. Dia membuka mulutnya untuk menjerit, namun yang keluar hanyalah suara-suara tercekik dan semakin banyak serpihan daging.

Si orang maintenance langsung mundur karena panik, dan menutup pintunya.
"Tahan pintunya!" Seru si dokter. Kami buru-buru pergi ke kafetaria dan menarik beberapa meja, menumpuknya di depan pintu untuk menghalangi...makhluk buas apapun yang ada di kamar itu.

Ketika kami lari ke ruang rekreasi, semuanya menangis, dan Jane meringkuk di lantai sambil gemetar ketakuran.

"Kita pergi besok," ujar si dokter akhirnya, suaranya bergetar.

Badai salju masih menggila di luar. Aku merasa angin yang kencang mengeluarkan suara seolah mengejek kami. Aku pasti tertidur, karena yang kuingat kemudian hanyalah terperanjat bangun saat mendengar suara ledakan di luar. Kami buru-buru bangkit berdiri dan memanjat tangga yang menuju ke dek observasi. Di luar, kami melihat kegelapan tanpa batas...kecuali kobaran api raksasa beberapa meter jauhnya dari kami.

SUV kami terbakar, dan jerigen-jerigen bensin ditumpuk di atasnya. Dan di balik kobaran api, di atas atap SUV, kami melihat...seseorang. Seseorang yang berdiri telanjang bulat.

"Oh Tuhan," ujar si ahli biologi. "Jane!?"

Orang itu Jane. Dia terbakar api. Lolongannya bergema di tengah badai salju. Kami hanya bisa menatap nanar ketika api akhirnya melahap seluruh tubuhnya, dan jeritannya menghilang.

Kami perlahan turun kembali, merasa semakin tak berdaya. Kami duduk di ruang rekreasi, dan tak ada seorangpun yang bicara. Si ahli fisika nampaknya tidak keluar dan masih di kamarnya. Si terapis pria masih hilang. Aku merasa mendengar langkah-langkah kaki di kamar-kamar yang kosong, namun aku sudah menyerah. Kalau aku harus mati di tempat ini, biarlah. Kami duduk berdempetan sambil membungkus diri dengan jaket dan selimut. Lilin menjadi satu-satunya sumber penerangan kami. Aku mencoba menutup mataku sekuat-kuatnya supaya tak perlu melihat bayang-bayang gelap yang ditimbulkan cahaya lilin.
To be continued...

Roti Bakar

ROTI BAKAR

Baper Edition

Suatu hari ada sepasang kekasih yg sering bertengkar karena si cowok yg jago debat dan jarang mau mengalah.

Di cafe
Ce : ngunyah roti bakar
Co : enak cantik?
Ce : enaakk nyamnyam
Co : *ngelus poni cewek* mkn yg banyak yaa biar makin chubby hehe
Ce : gamau ah mau diet aja
Co : awas aja sampe diet2
Ce : biarinsih
Co : gaboleh! Sekali aku bilang gaboleh ya gaboleh!! diet biar apasih?! Kamu udh cantik kaya gini sayang

Dikelas
Co : pulang sekolah mau beli roti bakar lagi? *duduk disamping cewek*
Ce : engga, maunya kamu yg bikinin
Co : lah aku kan gbisa bikin roti bakar
Ce : belajar lah
Co : kamu lah! Kamu kan cewek! Masa aku? enak aja.
Ce : kamu nyebelin
Co : knp jdi aku yg salah? Jd Cewek selalu benar? Gitu??
Ce : tau ah! Kamu gapernah buka secret/ask.fm gitu? Pernah ga liat postingannya reza pahlevi yang "Sometimes, I just have to let her win, because losing argument is easier than losing her" pernah ga??
Co : *ketawa* iya deh iyaa woman is always right
Ce : nah gitu dong, tumben mau ngalah
Co : dih, yg ngalah siapa?
Ce : kamu barusan -_-
Co : aku kan cuma bilang woman is always right, mksd aku.. Kamu selalu dikanan. Aku dikiri. Kan emg kaya gitu tempat duduk kita dari dulu hahaha
Ce : diem, manyun Aku mau udahan aja
Co : udahan apanya sih? Debatnya?
Ce : kok debat sih? Aku ini cewek kamu ya bkn lwan debat! Jd Kamu anggep skrg kita lg debat hah?
Co : e..engga kok apaan sih
Ce : debat aja tuh sama bangku! *pergi*
Co : loh kok? Sayang hey! kok pergi sih? *bingung*
Lalu si cewek tak kunjung kembali ke kelas hingga pulang sekolah. Si cowok khawatir dan mencari si cewek hingga sampailah di kolam renang dimana banyak org histeris meneriaki seseorang
Co : heh ada apaan sih?
Tmn : itu tuh ada yg tenggelem, kayanya dari pas jam istirahat deh
Co : hah? Siapa?? *masuk ke kerumunan*
Ternyata orang itu adalah kekasihnya! Ia pun segera nyebur ke kolam dan membawa kekasihnya ke tepi kolam.

Tiba2 jantungnya terasa sgt sakit, lalu dgn terseok2 ia membawa kekasihnya menuju mobilnya dan langsung melarikannya kerumah sakit.
Beberapa hari setelah si cewek sadar, tiba2 banyak org yg mengelilinginya dan menangis. Namun batang hidung cowoknya pun tak kunjung muncul. Ia makin yakin bahwa hubungan mereka telah usai. Kemudian Ia menemukan sebuah surat disamping piring dan secarik kertas. Lalu ia menangis sejadi2nya setelah membaca isi surat, secarik kertas dan piring tsb.

"Dear, my roti bakar lovers. Maafin aku sayang aku ngga pamit dulu, pas aku kesana kamu belum sadar :( maafin aku jg klo aku sering adu argumen sama kamu dan jarang ngalah, itu kekurangan aku sejak kecil karna aku sering mndpt kekerasan dri papah. Maaf jg aku ga bilang klo aku ada lemah jantung. Aku ga rela bikin bidadari aku murung walau sedetik. Jaga baik2 ya paru2 aku yg ada di kamu skrg. Jgn main2 dket kolam lg. Tanya mama aku ya alamat tempat peristirahatan terakhir aku. Kesini aja kalau kamu lg sedih/kesel. Aku akn slalu ada utk kamu cinta."

Sunday, October 9, 2016

I Regret Ever Working in South Pole (3)

I REGRET EVER WORKING IN SOUTH POLE

PART 3

Author: SamMardukx2

Source: Reddit No Sleep

Keesokan paginya, kami berangkat, kecuali kedua terapis dan si pria tikus (mungkin dia tidur karena mabuk). Kami menyeret peti kayu berat itu ke ruang rekreasi, memutuskan untuk membukanya nanti saja setelah pulang. Kami pergi ke lokasi penggalian dan mencari-cari Jack, namun di sana tidak ada apa-apa atau siapapun. Pesan di atas salju itu sudah hilang; aneh, padahal semalam salju tidak turun. Tidak ada jejak kaki, tidak ada mayat...tak ada apapun. Kami pulang dengan perasaan depresi dan merasa bersalah atas hilangnya anggota tim kami. Akan tetapi, ketika kami sampai di fasilitas kami, ada sesuatu yang tak biasa.

Sebuah pesawat jet terparkir di depannya. Pesawat jet canggih yang dilengkapi seluncur salju di bawahnya, bukan pesawat bobrok yang mengantar kami ke sini. Ini pesawat jet pribadi yang mahal. Ketika kami masuk, kami disambut suara tawa menggelegar. Seorang pria pendek dan botak dengan jenggot putih duduk di ruang rekreasi bersama kedua terapis kami. Dia menikmati sebatang cerutu dan mengenakan jas yang sangat bagus. Ada dua pria besar berotot dan memakai kacamata hitam berdiri mengapit pintu. Kami semua terheran-heran.

"Wah, wah!" Seru pria itu, suaranya berat dan berlogat Selatan. "Bukankah ini anggota timku?"

"Siapa...."

Kata-kataku segera dipotongnya,
"Ijinkan aku memperkenalkan diri!" Serunya, mengulurkan tangannya yang memakai cincin emas besar. "Namaku Earl! Senang bertemu kalian!"

Kami dengan kikuk balas memperkenalkan diri, menyadari bahwa pria inilah yang bertanggungjawab atas semua proyek kami. Dia mengajak kami duduk di kafetaria untuk rapat. Dia mengucapkan belasungkawa untuk Jack, dan berkata bahwa dia tidak menyalahkan kami.

"Dan soal pesan di salju itu," ujarnya, dengan suara lebih pelan, "tempat ini secara keseluruhan memang membuat orang ingin melarikan diri. Jangan terpengaruh karena itu."

Earl akhirnya mengungkapkan tujuan ekspedisi kami, yaitu untuk menemukan tanda-tanda penjelajahan manusia terjauh di tempat ini. Dia juga bilang bahwa dia ingin mendirikan koloni sendiri di Kutub Selatan, namun dia harus tahu efek psikologis yang ditimbulkan dari tinggal di tempat seperti ini. Itulah sebabnya dia mengirim dua orang ahli kesehatan mental dan seorang pendeta (Earl menunjukku saat mengucapkan kata-kata itu, membuatku sangat kikuk). Dia berterimakasih lagi pada kami dan menyuruh kami semua tidur setelah menjamu kami makan malam dengan steak yang enak. Pria ini rupanya serius; dia benar-benar mendatangkan koki pribadinya untuk memasak bagi kami.

Keesokan paginya, setelah sarapan, dia menyuruh kami masuk satu-persatu ke ruangan si terapis pria, untuk berbicara. Ketika sampai giliranku, dia bersikap sangat hormat; sikap yang akan kuterima dengan baik seandainya dia tidak tahu aku pendeta. Akan tetapi, bagiku, rasa hormatnya terasa sangat palsu.

"Bagaimana keadaanmu, pak pendeta?" Tanyanya lembut.

"Lumayan..." aku hanya bisa menyahut sekadarnya, tak yakin bagaimana harus menjawab pertanyaan itu setelah apa yang terjadi.

"Baguslah," dia tersenyum. "Aku akan jujur padamu. Kau adalah orang terpenting di sini."

"Kok bisa?" Tanyaku heran.

"Begini..." ujarnya, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Sebenarnya, ekspedisi ini lebih mirip penelitian psikologis."

"Apa?"

"Kami sengaja merekrut tokoh religius serta minimal dua orang terapis untuk mendata tanda-tanda tekanan mental dalam kehidupan di tempat ini. Kami ingin membangun peradaban baru, namun kami harus menguji kelompok-kelompok kecil terlebih dahulu dalam periode waktu berbeda."

"Jadi, kenapa aku?"

Earl tersenyum. "Nah, aku sendiri juga Protestan. Tapi aku sengaja memilihmu karena artikel yang pernah kau tulis. Kalimat terakhirmu di artikel itu mencerminkan filosofi pribadiku."

"Apa itu?"

"Untuk memahami Tuhan, kita harus memahami iblis."

Aku seketika teringat artikel itu. Artikel yang kutulis untuk seminari tentang demonologi dalam masyarakat modern. Aku sedikit bergidik mengingatnya, karena subyeknya membuatku tak nyaman. Akan tetapi, aku masih tidak yakin mengapa artikel pendek itu memberiku kualifikasi dalam misi penting ke Antartika.

Aku meninggalkan ruangan bersama Earl dan kami bergabung dengan yang lain. Kami semua mengobrol, atau lebih tepatnya, kami mendengarkan sementara Earl mendominasi pembicaraan. Rasanya tidak benar. Kami merasa hangat dan nyaman di sini, dengan pria kaya ini mengoceh di depan kami, sementara Jack ada di luar sana, kedinginan dan sendirian.

Belakangan aku tahu bahwa si ahli biologi dan pasangan suami istri ahli geologi itu minta pergi. Mulanya, Earl dengan santai menolak permintaan mereka. Akan tetapi, setelah didesak berkali-kali, dia jadi mengancam dan berkata bahwa ketiganya sudah dikontrak. Ketiganya akhirnya masuk ke kamar masing-masing setelahnya. Earl pergi malam itu juga, dengan instruksi untuk segera melaporkan penemuan kami, apapun itu. Dia naik ke pesawatnya bersama para bodyguard-nya dan segera terbang pergi.

Keesokan harinya, badai salju dahsyat yang panjang menerpa. Kami memutuskan bahwa Jack mungkin sudah mati di luar sana, karena tak mungkin ada manusia yang bisa bertahan hidup di tengah badai salju bersuhu di bawah nol selama tiga hari. Inilah saat dimana situasinya menjadi semakin buruk.

Kami akhirnya memutuskan untuk membongkar peti terkunci yang ditemukan tim kami di luar. Peti itu disegel rapat, dan butuh waktu beberapa lama sampai dua anggota tim maintenance berhasil membukanya. Mereka harus susah payah mengangkat tutupnya yang sangat berat. Kami berkerumun di sekitar peti yang terbuka, dan aku berdiri paling dekat dengan benda itu. Si orang maintenance kemudian mundur setelah berhasil membongkar kuncinya. Ketika aku mengangkat tutupnya. serbuk mirip debu hitam berhamburan dari dalamnya. Beberapa dari kami terbatuk-batuk sebentar, namun ketika awan debu itu lenyap, kami akhirnya melihat bagian dalam petinya.

Peti itu nyaris kosong. Tidak ada sesuatu yang terlihat penting di dalamnya. Tapi ada sehelai benang, penutup jari, dan garam di dasar peti.
Kami berkerumun dalam diam di sekitar peti itu, menggaruk kepala dan saling menatap. Kami bertanya-tanya mengapa peti berisi ketiga benda ini terkubur di salju yang bermeter-meter dalamnya. Saking asyiknya berbicara, kami nyaris tak menyadari ketika si terapis pria berjalan pergi. Dia nampak sepucat hantu, sehingga aku harus mengejarnya dan bertanya ada apa.

"Hei!" Seruku ketika berhasil menyusulnya.

"Kau baik-baik saja?"

Dia menggelengkan kepalanya.

"Ada apa?" Aku penasaran kenapa dia mendadak bersikap aneh. Saat itu, aku melihat yang lain juga keluar dari kafetaria, tapi aku tak melihat si pria tikus berjaket jingga itu.

"Apa kau melihat tulisan di peti itu?" Si terapis akhirnya berkata dengan suara pelan.

"Tidak," ujarku bingung. Mungkin aku melewatkannya.

"Apa kau bisa membaca huruf Ibrani?" Tanyanya dengan suara tercekat.

"Tidak," ujarku. "Aku belajar bahasa Yunani...tunggu, kau bisa bahasa Ibrani?"

"Ya. Aku Yahudi. Dulu, paling tidak. Tapi aku masih bisa membaca tulisan Ibrani," suaranya bergetar. "Sekarang aku berharap aku tak bisa."

"Apa tulisan di peti itu?"

"Dibbuk."

To be continued...

I Regret Ever Working in South Pole (2)

I REGRET EVER WORKING IN SOUTH POLE

PART 2

Author: SamMardukx2

Source: Reddit No Sleep

Hari-hari kami biasanya cukup sepi. Kebanyakan kami melakukan urusan kami sendiri di ruangan masing-masing, termasuk makan siang (biasanya makanan beku yang dipanaskan). Aku kadang-kadang mengobrol dengan si dokter Finlandia. Dia penganut Buddha, jadi kami sering bermeditasi bersama setiap pagi di fasilitas medisnya, di bawah penerangan lampu pijar yang berdesis. Dia sering bilang kalau tempat itu memberinya perasaan aneh. Sulit sekali untuk berkonsentrasi di sini, di antara semen kelabu dan terkubur di bawah salju. Aku juga menyadarinya selama beberapa lama. Kalau aku sedang sendirian dan semuanya sepi, aku berani sumpah aku bisa mendengar suara-suara berbisik. Setelah satu insiden dimana aku mendengar bisik-bisik itu dengan lebih jelas, aku mulai mengenakan headphone. Mereka membantuku sedikit mengisi telingaku dengan suara-suara menenangkan.

Pasokan persediaan untuk kami dikirimkan seminggu sekali di sebuah pangkalan pesisir yang jauhnya ratusan mil. Isinya barang-barang seperti makanan, air, rokok dan wiski. Siapapun yang membayar untuk ekspedisi ini benar-benar banyak uang, tapi aku tidak pernah bertemu dengan klien kami. Aku hanya dikontak oleh perwakilan mereka. Sepertinya, orang yang membiayai ekspedisi ini sangat kaya, keras kepala, religius, dan benar-benar menaruh semua investasinya untuk ekspedisi ini. Dia menginginkan kesuksesan, tapi tak ada seorangpun dari kami yang tahu apa tujuan akhir yang diinginkannya dari pendanaan ekspedisi ini.

Seminggu sekali, kami juga keluar menggunakan "snow-rover," SUV besar yang bisa dikemudikan di atas salju dan es. Kami akan mengambil sampel es serta memeriksa lokasi penelitian yang ditinggalkan kru sebelum kami. Aku tak bisa membayangkan kru macam apa yang datang ke tempat ini untuk membangun semua fasilitas ini untuk pertama kalinya, tapi aku yakin mereka pasti dibayar gila-gilaan. Kadang-kadang, kami juga keluar sekedar untuk melihat matahari, tapi biasanya hanya kru yang berkepentingan dengan tugas penggalian yang pergi. Kemanapun kami melangkah, kami harus selalu memakai tali pengaman yang dikaitkan dengan SUV, untuk mencegah terpeleset di atas es.

Peristiwa buruk itu terjadi setelah dua bulan masa tinggal kami di fasilitas ini. Hari itu, tim yang pergi keluar adalah pasangan suami istri ahli geologi, si wanita kulit hitam ahli biologi, dan satu orang anggota tim maintenance. Mereka pergi dengan bersemangat. Akan tetapi, setelah berjam-jam, mereka kembali dalam keadaan terguncang. Mereka menerobos masuk ke ruang rekreasi ketika aku sedang duduk di sana dengan si terapis wanita. Salah satu ahli geologi langsung lari ke kamarnya, dan suaminya mengejarnya. Kami bertanya apa yang terjadi kepada si ahli biologi, yang menangis. Si terapis pria masuk tanpa suara, dan langsung menyuruh wanita itu untuk masuk ke kantornya.

Si dokter Finlandia kemudian menerobos masuk dan berseru, "apa yang terjadi!?"

"Aku tidak tahu," ujar si terapis wanita. Dia cemas, sama sepertiku.

"Mana Jack? (nama si anggota tim maintenance yang mengemudikan SUV). Tunggu dulu, di mana mobilnya?" Tanyaku, membuka pintu yang menuju keluar. Aku tidak melihat apa-apa kecuali tiang bendera, jejak-jejak kaki panjang, serta bermil-mil es yang berkilau putih di bawah matahari.

Kami duduk berjam-jam di ruang rekreasi, tapi si suami istri ahli geologi dan si ahli biologi berada di ruangan si terapis pria. Kami mendengar suara-suara panik dari balik pintunya. Akhirnya, mereka semua keluar. Kedua ahli geologi langsung masuk kamar mereka tanpa bicara. Si ahli biologi duduk di salah satu kursi lipat dekat kami. Si terapis pria berdiri di belakangnya. Wanita itu jelas sudah menangis sejak kembali.

"Kami sampai di lokasi itu tepat waktu," ujar si ahli biologi, berusaha menenangkan diri. "Lokasi penggalian itu...kami tiba pukul 7 alih-alih pukul 8, jadi kami bisa bekerja lebih awal. Mulanya semuanya oke-oke saja. Jack tetap di SUV dan mengawasi tali pengaman. Aku sedang sibuk memahat sampel es, sampai aku mendengar kedua orang itu memanggil-manggil kami dari lubang dalam yang mereka jelajahi. Aku ikut meluncur masuk ke lubang itu; dalamnya sekitar 30 meter. Mereka rupanya menemukan sesuatu di balik permkaan es.

"Kami menggali bersama-sama dan menemukan peti kayu berkunci yang besar. Kami pikir benda itu ditinggalkan oleh anggota tim penggalian sebelumnya, tapi desainnya nampak sangat tua. Seperti sesuatu yang berasal dari jaman Perang Dunia Kedua. Petinya berat dan terkunci.

"Kami menarik tali untuk memberi isyarat pada Jack, tapi dia tidak merespon. Kami memanggil-manggilnya, tapi dia tak menjawab. Kami tak bisa melihatnya dari sudut pandang kami. Setelah sepuluh menit berteriak-teriak, akhirnya kami memanjat ke atas menggunakan perlengkapan kami. Kami menggunakan sisa tali untuk mengangkat peti itu. Ketika kami sampai di atas, Jack tidak ada. Kami mencari di sekitar tempat itu, tapi tak menemukannya. Kami mengecek kalau-kalau ada lubang di es atau jejak kaki, tapi tak ada apapun. Kami menaruh peti itu di SUV, lalu melanjutkan mencari. Kemudian, kami melihat sesuatu. Ketika kami memanjat ke atap SUV untuk sudut pandang yang lebih baik, kami melihat pesan yang ditorehkan di atas salju. Tulisannya: 'LARI.'"

Kami tercengang menatapnya, dan dia mulai menangis lagi. "Kami panik. Kami langsung pergi, tapi tak ada seorangpun dari kami yang bisa mengoperasikan kendaraan yang dirancang untuk melaju di atas es. Kami menabrak, sekitar satu mil ke selatan dari sini. Kami berjalan kaki ke sini. Petinya masih ada di mobil, dan Jack masih hilang."

Dia kemudian menangis, dan pergi ke kamarnya. Jack masih belum menjawab panggilan radio, dan dia juga tidak menghubungi kami. Lokasi penggalian itu sejam berkendara dari tempat kami, dan kami berjarak ribuan mil jauhnya dari fasilitas lain. Kami benar-benar tak berdaya.
"Baiklah, lakukan yang penting dulu," ujar salah satu staf. "Kita harus mendapatkan kendaraan kita kembali."

Dia bersiap-siap, lalu bersama dengan anggota tim maintenance lainnya, pergi menggunakan mobil salju. Aku tidak tahu bagaimana mereka melakukannya, tapi mereka berhasil membawa pulang SUV itu kurang dari satu jam kemudian. Hari mulai gelap, dan kami tidak bisa mencari Jack karena berbahaya. Kami tidak tidur malam itu. Si pria aneh mirip tikus bahkan tidak masuk ke kamarnya. Dia cuma berkeliaran dan minum di bar. Aku berbaring di kasurku, mendengarkan musik dengan earphone untuk menghalau suara tangisan yang samar-samar. Aku menatap dinding beton. Kuburan beton di tengah-tengah zona es mati. Kami semua sendirian.

Aku ingat si dokter berkata sebelum masuk ke kamarnya: "kalau Jack masih hidup, dia akan lebih baik di luar sana."

To be continued...

I Regret Ever Working in South Pole (1)

I REGRET EVER WORKING IN SOUTH POLE

PART 1

Author: SamMardukx2

Source: Reddit No Sleep

Aku bekerja di Kutub Selatan
Kedengarannya mungkin menarik, tapi pekerjaanku sangat sulit dan melelahkan.

Kami dikirim ke tengah-tengah Antartika, dan dikelilingi ribuan mil salju serta es. Kami bekerja selama sekitar 18 jam sehari, dan waktu untuk bersantai sangat sedikit. Kami punya Wifi yang sangat lambat, tapi cukup untuk mencegahku jadi gila karena bosan.

Tapi, yang jadi masalah bagiku bukanlah semua hal ini. Masalahnya adalah atmosfer di sekitar kami. Rasanya sangat menekan, seolah ada yang sangat salah dengan tempat itu.

Fasilitas tempat kerja kami sebagian besar berupa ruangan bawah tanah dengan pemanas di bagian atas, dan pintu masuk serta tangga yang terbuat dari semen. Bungker itu berbentuk persegi dari beton kelabu, dan terdiri dari ruang tidur pria dan wanita, beberapa kamar kosong, kamar mandi besar dengan pancuran dan kloset, plus tiga laboratorium dan kafetaria, semuanya tanpa jendela.

Ada juga sebuah fasilitas medis dengan dua ruangan yang dilengkapi sofa (untuk sesi terapi). Di tengah-tengah, setelah pintu masuk berdaun ganda, ada ruang rekreasi yang dilengkapi meja bilyar, bar, dan dinding dari panel kayu bergaya tahun 70-an.

Semua ruangan ini saling dihubungkan oleh koridor-koridor suram, dan ditambah dua ruang kantor dengan meja dan kursi (tempatku menghabiskan sebagian besar waktuku).

Di atas fasilitas penelitian ini, ada dek observasi yang dapat dijangkau dengan tangga, lengkap dengan beberapa jendela. Akan tetapi, kami biasanya hanya naik ke sini untuk merokok, karena hawanya sama dinginnya dengan di luar.

Keseluruhan tempat ini juga suram; ada lampu pijar dan beberapa lampu neon di berbagai sudut, tapi tetap saja tempat itu terasa seperti penjara semen bawah tanah.

Aku agak terkejut ketika menyadari mereka mengirim cukup banyak orang untuk misi ini. Aku melihat bahwa tim kami jumlahnya ternyata ada 12 orang. Semua orang ini adalah profesional di bidang mereka.

Yang pertama adalah dokter Finlandia setengah baya yang berpengalaman menyembuhkan cedera di iklim beku. Ada peneliti bidang fisika yang kaget ketika melihat bagaimana sebenarnya Kutub Selatan, karena sama seperti sebagian besar dari kami, kebanyakan pekerjaannya hanya berurusan dengan teori.

Ada pasangan suami istri ahli geologi asal Inggris. Ada tiga orang pria usia 30-an yang bertugas sebagai supir serta tim maintenance. Ada seorang ahli biologi, wanita kulit hitam super serius yang rambutnya selalu tersanggul rapi dan mengenakan jas laboratoriumnya sepanjang hari.

Ada juga dua orang terapis. Yang pertama wanita separuh baya dengan rambut pirang berponi dan membawa papan alas menulis, serta selalu tersenyum hangat. Yang satunya lagi seorang pria tinggi kurus. Pipinya tirus dan rambutnya hitam legam.

Aku tidak tahu mengapa dia mau menjadi terapis, karena aku bahkan merasa terintimidasi ketika hendak sekedar menyapanya. Aku tak pernah melihat seorangpun di tim kami mengikuti sesi terapinya, kecuali kalau dia memang menyuruh mereka. Aku biasanya mencoba menghindarinya.

Ada seorang lagi yang kupikir adalah koki, tapi ternyata bukan, karena kami harus membuat makanan kami sendiri. Dia pria aneh dengan penampilan seperti tikus. Dia tidak bicara pada siapapun, dan ketika aku menyapanya, dia biasanya tidak menghiraukanku.

Aku? Aku adalah seorang pendeta. Yah, aku tahu yang kau pikirkan. Ada banyak profesional di tempat ini, tapi mengapa mereka masih butuh seorang pendeta? Menurutku juga aneh, tapi ketika aku dihubungi oleh perusahaan yang membiayai ekspedisi ini, aku tidak menolak. Mereka menawarkan imbalan uang yang cukup banyak, dan dalam bidang kerjaku, penawaran seperti itu langka.

Ekspedisi ini rencananya berlangsung selama enam bulan, dan masing-masing dari kami melakukan eksperimen spesifik. Aku tidak tahu apa yang dilakukan semua orang, tapi aku menulis jurnal observasi mengenai aspek religius dari ekspedisi ini, serta memberikan konseling kepada setiap anggota ekspedisi.

Tugas konselingnya tidak masalah, tapi tugas penulisan jurnalnya? Rasanya kok seperti tugas mahasiswa baru di kelas Dasar-dasar Teologi. Tapi aku toh dibayar, jadi aku menerimanya saja dan menghabiskan waktu luangku mengunduh game dan film untuk melewatkan waktu di antara konseling.

Herannya, ternyata cukup banyak orang yang datang padaku untuk diskusi religius. Aku bahkan berhasil berteman dengan para anggota tim maintenance yang semuanya Katolik, walaupun mereka sempat agak sinis padaku di awal (aku seorang Protestan).

Aku merasa bisa membantu mereka meredakan stres dengan mengijinkan mereka berdiskusi bebas soal agama sama santainya seperti kalau kami mengobrol biasa. Aku juga akrab dengan anggota tim lainnya.

Si ahli fisika adalah seorang ateis, tapi kami akrab dan suka iseng menjahili masing-masing. Misalnya, aku akan menyembunyikan laptopnya lalu memutar keras-keras lagu "Jesus Take the Wheel," dan sebagai balasannya, dia akan membangunkanku di pagi hari dengan memutar lagu "No Church in the Wild" tepat di kupingku.

Aku menganggapnya salah satu teman terdekatku di fasilitas ini (walaupun lagu yang sering diputarnya itu membuatku merinding, karena mengingatkanku bahwa kami semua sangat jauh dari peradaban).

Satu-satunya yang tak akrab denganku adalah si pria aneh dengan penampilan seperti tikus itu. Dia tak pernah bicara denganku walaupun kami berada bersama di ruang rekreasi. Dia senang memakai jaket tudung berwarna jingga dan celana jins di dalam ruangan, dan suka minum sendirian di bar kami yang suram.

Aku jarang bertemu dengannya karena jadwal kami berbeda, dan tak pernah mempermasalahkan kebiasaan minumnya, apalagi di tempat suram seperti ini.

TO BE CONTINUED

Cerbung baru: I Regret Ever Working in South Pole

Konbanwa!

Ya berhubung gua udah kembali dri masa hibernasi, jadi gua bakal menghidupkan blog ini dengon post2 baru yang pastinya.... biasa aja :v

Tapi gua yakin post2 gua bakal menutupi rasa kecewa kalian setelah gua off selama sekian lama, ka-re-naa.... selain cervung avril mop (yimyam version :v) gua bakal menghadirkan berbagai cerbung dari OA dan Blog Mengaku Backpacker. Yaitu salah satunya adalah I Regret Ever Working in South Pole.

Cerbung ini bercerita tentang seorang pendeta yang bekerja disuatu tempat di kutub selatan dengan berbagai org lainnya. ia terjebak di tempat itu disaat keadaan semakin memburuk dan mencekam. Satu2 persatu dari mereka menghilang, dan pada akhirnya dia menemukan sesuatu yangamat mencengangkan... apakah itu? Penasaran kan? Makanya baca cerbungnya :v

 Jadi sebelumnya, terima kasih buat bang dave dari Mengaku Backpacker buat ceritanya, saya sangat menikmati riddle2 dan cerbungnya bang dave :v (fans menggema: bang dave! bang dave! bang dave!):v

Bagi kalian yang mau ngeliat original sourcenya atau blog paling fenomenal ini boleh klik disini!
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Ga keluar apa2 kan?
Yaiyalah org disitu emang ga ada gua tautin link apa2. Wkwkwkwk...

Ngambek? Okelah nih linknya: mengakubackpacker.blogspot.com

Oke sekian dari gua, keep following my blog, hope you enjoy it,

Stay Tuned!

Saturday, October 8, 2016

KEMBALI AKTIF

What's Up! What's Down! :v

Hallooo.... udah lama ga on, akhirnya gua bisa update blogger lagi. :v menghilangnya gua selama ini bukan ga ada maksudnya, tapi gara2 sibuk :v yang buat lomba, ujian, buat film (eakk) dll. Secara gua juga sekarang kan udah punya gebetan, ga kaya yang lagi baca postingan ini (lol). 

Hehhe sebenernya bukan itu semua penyebab utama gua ga bisa aktif. Sebenarnya adalah karena gua ga bisa buka blogger dari UC browser :( soalnya gua pake tri trus kalo pake chrome gua buka blogger, baaah.... bakalan tamat S2 gua baru kekirim tuh post :v jadi sekarang gua udah pake apk blogger jadi insya allah gua bakal update tiap hari buat nemenin kalian yang jomblo dirumah :v (lululululu) 

okelah sekian dari gua... eh oiya sebagai permintaan maaf gua bakalan update cerbung buatan gua sendiri yaitu April Mop. Ya itu cerbung gua buat selama gua off, dan gua mau confess, sebenernya cerbung utu belom selesai :"v jadi mohon maaf kalo nanti gua updatenya agak kelamaan. Mohon apresiasinya ya, yang mau kasih kritik&saran silahkan masukkan di komen supaya saya bisa lebih berkecimpung di dunia percerbungan (<~apaan sih ini) :v

Udah2 cukup kangen2annya, keep following my blog, hope you enjoy it,

Stay Tuned!