Sunday, October 9, 2016

I Regret Ever Working in South Pole (3)

I REGRET EVER WORKING IN SOUTH POLE

PART 3

Author: SamMardukx2

Source: Reddit No Sleep

Keesokan paginya, kami berangkat, kecuali kedua terapis dan si pria tikus (mungkin dia tidur karena mabuk). Kami menyeret peti kayu berat itu ke ruang rekreasi, memutuskan untuk membukanya nanti saja setelah pulang. Kami pergi ke lokasi penggalian dan mencari-cari Jack, namun di sana tidak ada apa-apa atau siapapun. Pesan di atas salju itu sudah hilang; aneh, padahal semalam salju tidak turun. Tidak ada jejak kaki, tidak ada mayat...tak ada apapun. Kami pulang dengan perasaan depresi dan merasa bersalah atas hilangnya anggota tim kami. Akan tetapi, ketika kami sampai di fasilitas kami, ada sesuatu yang tak biasa.

Sebuah pesawat jet terparkir di depannya. Pesawat jet canggih yang dilengkapi seluncur salju di bawahnya, bukan pesawat bobrok yang mengantar kami ke sini. Ini pesawat jet pribadi yang mahal. Ketika kami masuk, kami disambut suara tawa menggelegar. Seorang pria pendek dan botak dengan jenggot putih duduk di ruang rekreasi bersama kedua terapis kami. Dia menikmati sebatang cerutu dan mengenakan jas yang sangat bagus. Ada dua pria besar berotot dan memakai kacamata hitam berdiri mengapit pintu. Kami semua terheran-heran.

"Wah, wah!" Seru pria itu, suaranya berat dan berlogat Selatan. "Bukankah ini anggota timku?"

"Siapa...."

Kata-kataku segera dipotongnya,
"Ijinkan aku memperkenalkan diri!" Serunya, mengulurkan tangannya yang memakai cincin emas besar. "Namaku Earl! Senang bertemu kalian!"

Kami dengan kikuk balas memperkenalkan diri, menyadari bahwa pria inilah yang bertanggungjawab atas semua proyek kami. Dia mengajak kami duduk di kafetaria untuk rapat. Dia mengucapkan belasungkawa untuk Jack, dan berkata bahwa dia tidak menyalahkan kami.

"Dan soal pesan di salju itu," ujarnya, dengan suara lebih pelan, "tempat ini secara keseluruhan memang membuat orang ingin melarikan diri. Jangan terpengaruh karena itu."

Earl akhirnya mengungkapkan tujuan ekspedisi kami, yaitu untuk menemukan tanda-tanda penjelajahan manusia terjauh di tempat ini. Dia juga bilang bahwa dia ingin mendirikan koloni sendiri di Kutub Selatan, namun dia harus tahu efek psikologis yang ditimbulkan dari tinggal di tempat seperti ini. Itulah sebabnya dia mengirim dua orang ahli kesehatan mental dan seorang pendeta (Earl menunjukku saat mengucapkan kata-kata itu, membuatku sangat kikuk). Dia berterimakasih lagi pada kami dan menyuruh kami semua tidur setelah menjamu kami makan malam dengan steak yang enak. Pria ini rupanya serius; dia benar-benar mendatangkan koki pribadinya untuk memasak bagi kami.

Keesokan paginya, setelah sarapan, dia menyuruh kami masuk satu-persatu ke ruangan si terapis pria, untuk berbicara. Ketika sampai giliranku, dia bersikap sangat hormat; sikap yang akan kuterima dengan baik seandainya dia tidak tahu aku pendeta. Akan tetapi, bagiku, rasa hormatnya terasa sangat palsu.

"Bagaimana keadaanmu, pak pendeta?" Tanyanya lembut.

"Lumayan..." aku hanya bisa menyahut sekadarnya, tak yakin bagaimana harus menjawab pertanyaan itu setelah apa yang terjadi.

"Baguslah," dia tersenyum. "Aku akan jujur padamu. Kau adalah orang terpenting di sini."

"Kok bisa?" Tanyaku heran.

"Begini..." ujarnya, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Sebenarnya, ekspedisi ini lebih mirip penelitian psikologis."

"Apa?"

"Kami sengaja merekrut tokoh religius serta minimal dua orang terapis untuk mendata tanda-tanda tekanan mental dalam kehidupan di tempat ini. Kami ingin membangun peradaban baru, namun kami harus menguji kelompok-kelompok kecil terlebih dahulu dalam periode waktu berbeda."

"Jadi, kenapa aku?"

Earl tersenyum. "Nah, aku sendiri juga Protestan. Tapi aku sengaja memilihmu karena artikel yang pernah kau tulis. Kalimat terakhirmu di artikel itu mencerminkan filosofi pribadiku."

"Apa itu?"

"Untuk memahami Tuhan, kita harus memahami iblis."

Aku seketika teringat artikel itu. Artikel yang kutulis untuk seminari tentang demonologi dalam masyarakat modern. Aku sedikit bergidik mengingatnya, karena subyeknya membuatku tak nyaman. Akan tetapi, aku masih tidak yakin mengapa artikel pendek itu memberiku kualifikasi dalam misi penting ke Antartika.

Aku meninggalkan ruangan bersama Earl dan kami bergabung dengan yang lain. Kami semua mengobrol, atau lebih tepatnya, kami mendengarkan sementara Earl mendominasi pembicaraan. Rasanya tidak benar. Kami merasa hangat dan nyaman di sini, dengan pria kaya ini mengoceh di depan kami, sementara Jack ada di luar sana, kedinginan dan sendirian.

Belakangan aku tahu bahwa si ahli biologi dan pasangan suami istri ahli geologi itu minta pergi. Mulanya, Earl dengan santai menolak permintaan mereka. Akan tetapi, setelah didesak berkali-kali, dia jadi mengancam dan berkata bahwa ketiganya sudah dikontrak. Ketiganya akhirnya masuk ke kamar masing-masing setelahnya. Earl pergi malam itu juga, dengan instruksi untuk segera melaporkan penemuan kami, apapun itu. Dia naik ke pesawatnya bersama para bodyguard-nya dan segera terbang pergi.

Keesokan harinya, badai salju dahsyat yang panjang menerpa. Kami memutuskan bahwa Jack mungkin sudah mati di luar sana, karena tak mungkin ada manusia yang bisa bertahan hidup di tengah badai salju bersuhu di bawah nol selama tiga hari. Inilah saat dimana situasinya menjadi semakin buruk.

Kami akhirnya memutuskan untuk membongkar peti terkunci yang ditemukan tim kami di luar. Peti itu disegel rapat, dan butuh waktu beberapa lama sampai dua anggota tim maintenance berhasil membukanya. Mereka harus susah payah mengangkat tutupnya yang sangat berat. Kami berkerumun di sekitar peti yang terbuka, dan aku berdiri paling dekat dengan benda itu. Si orang maintenance kemudian mundur setelah berhasil membongkar kuncinya. Ketika aku mengangkat tutupnya. serbuk mirip debu hitam berhamburan dari dalamnya. Beberapa dari kami terbatuk-batuk sebentar, namun ketika awan debu itu lenyap, kami akhirnya melihat bagian dalam petinya.

Peti itu nyaris kosong. Tidak ada sesuatu yang terlihat penting di dalamnya. Tapi ada sehelai benang, penutup jari, dan garam di dasar peti.
Kami berkerumun dalam diam di sekitar peti itu, menggaruk kepala dan saling menatap. Kami bertanya-tanya mengapa peti berisi ketiga benda ini terkubur di salju yang bermeter-meter dalamnya. Saking asyiknya berbicara, kami nyaris tak menyadari ketika si terapis pria berjalan pergi. Dia nampak sepucat hantu, sehingga aku harus mengejarnya dan bertanya ada apa.

"Hei!" Seruku ketika berhasil menyusulnya.

"Kau baik-baik saja?"

Dia menggelengkan kepalanya.

"Ada apa?" Aku penasaran kenapa dia mendadak bersikap aneh. Saat itu, aku melihat yang lain juga keluar dari kafetaria, tapi aku tak melihat si pria tikus berjaket jingga itu.

"Apa kau melihat tulisan di peti itu?" Si terapis akhirnya berkata dengan suara pelan.

"Tidak," ujarku bingung. Mungkin aku melewatkannya.

"Apa kau bisa membaca huruf Ibrani?" Tanyanya dengan suara tercekat.

"Tidak," ujarku. "Aku belajar bahasa Yunani...tunggu, kau bisa bahasa Ibrani?"

"Ya. Aku Yahudi. Dulu, paling tidak. Tapi aku masih bisa membaca tulisan Ibrani," suaranya bergetar. "Sekarang aku berharap aku tak bisa."

"Apa tulisan di peti itu?"

"Dibbuk."

To be continued...

No comments:

Post a Comment