Sunday, October 9, 2016

I Regret Ever Working in South Pole (1)

I REGRET EVER WORKING IN SOUTH POLE

PART 1

Author: SamMardukx2

Source: Reddit No Sleep

Aku bekerja di Kutub Selatan
Kedengarannya mungkin menarik, tapi pekerjaanku sangat sulit dan melelahkan.

Kami dikirim ke tengah-tengah Antartika, dan dikelilingi ribuan mil salju serta es. Kami bekerja selama sekitar 18 jam sehari, dan waktu untuk bersantai sangat sedikit. Kami punya Wifi yang sangat lambat, tapi cukup untuk mencegahku jadi gila karena bosan.

Tapi, yang jadi masalah bagiku bukanlah semua hal ini. Masalahnya adalah atmosfer di sekitar kami. Rasanya sangat menekan, seolah ada yang sangat salah dengan tempat itu.

Fasilitas tempat kerja kami sebagian besar berupa ruangan bawah tanah dengan pemanas di bagian atas, dan pintu masuk serta tangga yang terbuat dari semen. Bungker itu berbentuk persegi dari beton kelabu, dan terdiri dari ruang tidur pria dan wanita, beberapa kamar kosong, kamar mandi besar dengan pancuran dan kloset, plus tiga laboratorium dan kafetaria, semuanya tanpa jendela.

Ada juga sebuah fasilitas medis dengan dua ruangan yang dilengkapi sofa (untuk sesi terapi). Di tengah-tengah, setelah pintu masuk berdaun ganda, ada ruang rekreasi yang dilengkapi meja bilyar, bar, dan dinding dari panel kayu bergaya tahun 70-an.

Semua ruangan ini saling dihubungkan oleh koridor-koridor suram, dan ditambah dua ruang kantor dengan meja dan kursi (tempatku menghabiskan sebagian besar waktuku).

Di atas fasilitas penelitian ini, ada dek observasi yang dapat dijangkau dengan tangga, lengkap dengan beberapa jendela. Akan tetapi, kami biasanya hanya naik ke sini untuk merokok, karena hawanya sama dinginnya dengan di luar.

Keseluruhan tempat ini juga suram; ada lampu pijar dan beberapa lampu neon di berbagai sudut, tapi tetap saja tempat itu terasa seperti penjara semen bawah tanah.

Aku agak terkejut ketika menyadari mereka mengirim cukup banyak orang untuk misi ini. Aku melihat bahwa tim kami jumlahnya ternyata ada 12 orang. Semua orang ini adalah profesional di bidang mereka.

Yang pertama adalah dokter Finlandia setengah baya yang berpengalaman menyembuhkan cedera di iklim beku. Ada peneliti bidang fisika yang kaget ketika melihat bagaimana sebenarnya Kutub Selatan, karena sama seperti sebagian besar dari kami, kebanyakan pekerjaannya hanya berurusan dengan teori.

Ada pasangan suami istri ahli geologi asal Inggris. Ada tiga orang pria usia 30-an yang bertugas sebagai supir serta tim maintenance. Ada seorang ahli biologi, wanita kulit hitam super serius yang rambutnya selalu tersanggul rapi dan mengenakan jas laboratoriumnya sepanjang hari.

Ada juga dua orang terapis. Yang pertama wanita separuh baya dengan rambut pirang berponi dan membawa papan alas menulis, serta selalu tersenyum hangat. Yang satunya lagi seorang pria tinggi kurus. Pipinya tirus dan rambutnya hitam legam.

Aku tidak tahu mengapa dia mau menjadi terapis, karena aku bahkan merasa terintimidasi ketika hendak sekedar menyapanya. Aku tak pernah melihat seorangpun di tim kami mengikuti sesi terapinya, kecuali kalau dia memang menyuruh mereka. Aku biasanya mencoba menghindarinya.

Ada seorang lagi yang kupikir adalah koki, tapi ternyata bukan, karena kami harus membuat makanan kami sendiri. Dia pria aneh dengan penampilan seperti tikus. Dia tidak bicara pada siapapun, dan ketika aku menyapanya, dia biasanya tidak menghiraukanku.

Aku? Aku adalah seorang pendeta. Yah, aku tahu yang kau pikirkan. Ada banyak profesional di tempat ini, tapi mengapa mereka masih butuh seorang pendeta? Menurutku juga aneh, tapi ketika aku dihubungi oleh perusahaan yang membiayai ekspedisi ini, aku tidak menolak. Mereka menawarkan imbalan uang yang cukup banyak, dan dalam bidang kerjaku, penawaran seperti itu langka.

Ekspedisi ini rencananya berlangsung selama enam bulan, dan masing-masing dari kami melakukan eksperimen spesifik. Aku tidak tahu apa yang dilakukan semua orang, tapi aku menulis jurnal observasi mengenai aspek religius dari ekspedisi ini, serta memberikan konseling kepada setiap anggota ekspedisi.

Tugas konselingnya tidak masalah, tapi tugas penulisan jurnalnya? Rasanya kok seperti tugas mahasiswa baru di kelas Dasar-dasar Teologi. Tapi aku toh dibayar, jadi aku menerimanya saja dan menghabiskan waktu luangku mengunduh game dan film untuk melewatkan waktu di antara konseling.

Herannya, ternyata cukup banyak orang yang datang padaku untuk diskusi religius. Aku bahkan berhasil berteman dengan para anggota tim maintenance yang semuanya Katolik, walaupun mereka sempat agak sinis padaku di awal (aku seorang Protestan).

Aku merasa bisa membantu mereka meredakan stres dengan mengijinkan mereka berdiskusi bebas soal agama sama santainya seperti kalau kami mengobrol biasa. Aku juga akrab dengan anggota tim lainnya.

Si ahli fisika adalah seorang ateis, tapi kami akrab dan suka iseng menjahili masing-masing. Misalnya, aku akan menyembunyikan laptopnya lalu memutar keras-keras lagu "Jesus Take the Wheel," dan sebagai balasannya, dia akan membangunkanku di pagi hari dengan memutar lagu "No Church in the Wild" tepat di kupingku.

Aku menganggapnya salah satu teman terdekatku di fasilitas ini (walaupun lagu yang sering diputarnya itu membuatku merinding, karena mengingatkanku bahwa kami semua sangat jauh dari peradaban).

Satu-satunya yang tak akrab denganku adalah si pria aneh dengan penampilan seperti tikus itu. Dia tak pernah bicara denganku walaupun kami berada bersama di ruang rekreasi. Dia senang memakai jaket tudung berwarna jingga dan celana jins di dalam ruangan, dan suka minum sendirian di bar kami yang suram.

Aku jarang bertemu dengannya karena jadwal kami berbeda, dan tak pernah mempermasalahkan kebiasaan minumnya, apalagi di tempat suram seperti ini.

TO BE CONTINUED

1 comment:

  1. Lanjut min... *R u fckin kiddin me,??? Oke maaf, lupa kalo saya dari masa depan. Pasti ceritanya udah tamat, kan?

    ReplyDelete