Monday, August 3, 2015

Creepy Riddle : A Sketchy Interview

A Sketchy Interview
(Wawancara yg Samar)

Penulis: Matt Dymerski

Creepypasta ini mengisahkan seorang pemuda pengangguran yang putus asa dan membutuhkan pekerjaan secepat mungkin. Ketika ia menerima sebuah panggilan wawancara, segalanya takkan berjalan sesuai yang ia harapkan.

Aku mendapat panggilan wawancara yang cukup mengangguku kemarin. Isi emailnya agak samar, namun aku sudah putus asa ingin mendapatkan pekerjaan, jadi aku menerima saja panggilan itu. Aku memang merasa aneh karena wawancara itu dilakukan saat larut malam. Di saat aku menemukan alamat itu, kegelapan menyelimuti gedung kantor itu. Hanya ada lampu jalan berwana oranye yang meneranginya.

Gedung itu memiliki tempat parkir yang luas dengan hamparan lahan tak terpakai di belakangnya. Lingkungan ini amat menyatu dengan distrik pabrik yang ada di sekitarnya – gedung dari aluminium dan batu bata yang amat panjang dan besar. Mungkin karena kesunyiannya atau entah apa, namun aku langsung tidak menyukai tempat ini. Aku merinding ketika melihat ke sekitar, takut jika di tengah kegelapan ini seseorang merampokku.

Yeah, tentu saja. Jika mereka mau berlari di tengah lapangan parkir yang membentang sejauh setengah mil.

Selama beberapa menit yang tegang, aku berusaha membuka pintu di sisi bangunan. Semua jalan masuk yang ada di depan terkunci dan itu membuatku berpikir mungkin ada yang ingin mengerjaiku.

Namun saat aku mendorongnya, pintu itu terayun membuka.

Interior kantor itu cukup normal. Sebuah kantor yang kecil dan bersih, dengan dinding putih, dan sofa2 di ruang tunggu. Segala keraguanku runtuh seketika dan aku tersenyum dengan rasa lega dan penuh percaya diri.

“Saya di sini untuk ...” aku mendekati meja resepsionis, namun tak ada seorangpun di sana.

Ruangan di belakang meja resepsionis sangatlah gelap dan kosong.

Dengan bingung, aku memeriksa ruang tunggu. Lampu menyala dan pintu depan terbuka – jadi pastilah ada yang bekerja di sini. Mungkin resepsionis mereka sudah pulang jam segini. Lalu .... bagaimana? Apakah aku harus berjalan-jalan mengelilingi gedung ini sampai menemukan orang yang bisa aku tanyai? Apa mungkin aku akan juga menemukan calon bosku sedang berkeliaran di dalam sini? Aku masih mengutuk undangan wawancara yang samar2 itu di dalam hati.

Aku mendengar suara ketukan di gelas terdengar, walaupun sangat pelan, dari arah dalam. Aku memanggil ke arah balik meja resepsionis, namun tak ada jawaban.

Aku mencoba membuka pintu di belakang ruang tunggu – terkunci. Aku mencoba pintu di sebelahnya, dan secara mengejutkan, pintu itu dengan mudah terbuka. Dengan malu, aku masuk ke dalam, berharap seseorang memergokiku.

Di dalam tampak seperti goa yang luas dipenuhi dengan mesin2. Mesin2 raksasa yang tak pernah kulihat sebelumnya berdiri diam di dalam ruangan remang2 ini. Apa fungsi alat2 ini? Bahkan aku tak tahu perusahaan apa ini. Di ujung ruangan besar ini, aku melihat cahaya kecil dari sebuah mesin yang tampaknya sedang bekerja, dengan seoran laki-laki di dekatnya.

Aku mendekati sang operator dengan hati2. Ia tampak sangat serius dengan pekerjaannya hingga aku tak tahu apakah ia bahkan menyadari kehadiranku di sini.

“Hallo?” seruku untuk mengimbangi suara berisik yang dikeluarkan mesin itu.

Ia mengabaikanku, atau tidak mendengarku.

“Hai, aku datang ke sini untuk wawancara!” aku berteriak dan berjalan mengelilingi mesin agar ia bisa melihatku.

Suara melengking dari mesin itu berhenti seketika dan mesin itu mati dengan suara “whiiir” yang perlahan memudar.

Ia mendongak dan mengangkat kacamata pengamannya hingga ke dahi. Matanya fokus kepadaku selama beberapa saat.

“Bagus, bagus ...” katanya, “Ini akan menjadi wawancara lapangan, mengerti?”

Aku mencoba sebisa mungkin untuk tak tampak cemas, “Hmm ...”

“Mesin ini butuh tangan yang cekatan.”

“Maaf, saya tak paham ...”

Dengan gusar ia menunduk, membuka kap mesin, dan menunjuk di antara roda2 gigi yang bercampur aduk dengan piston dan komponen lainnya. Aku tetap tidak mengerti apa instruksi pria itu.

“Lihat itu? Kunci inggrisku terjatuh ke belakang sana. Aku tak bisa mencapainya.”

Aku bergeser ke sampingnya untuk melihat ke dalam mesin itu. Aku hampir menahan napas karena mencium bau tubuhnya yang menyengat. Udara di sekitarnya nampak lembab karena keringatnya dan napasnya berbau campuran aroma rokok dan – minuman keras? Tanpa mencoba terdengar kasar, aku berkata.

“Anda ingin ... saya mengambilnya?” aku bertanya apakah dia serius.

“Well, tentu saja aku tak bisa melakukannya.”

Aku memikirkannya baik2. Mesin itu cukup lebar dan rendah. Untuk mencapai bagian belakangnya, aku harus merangkak masuk ke dalam mesin itu, di antara roda2 gigi dan komponen lain yang pastinya akan bergerak jika mesin dinyalakan.

“Apakah anda tidak akan mematikan mesin itu sepenuhnya dulu?”

“Mesinnya sudah mati, nak.”

“Tapi saya baru saja melihat anda menjalankannya ...”

“Hanya untuk perawatan. Sekarang masuklah ke sana! Kau ingin pekerjaan ini atau tidak?”

Dengan mengerutkan dahi, aku mencoba bersandar lebih dekat pada kap mesin yang membuka itu. Di sudut mataku, aku bisa melihatnya menjilat bibirnya. Aku mulai ketakutan, namun aku sangat membutuhkan pekerjaan itu.

Aku mencoba memasukkan tanganku ke dalam, berusaha agar tiddak menyentuh bagian2 yang bergerigi yang kapanpun bisa menyala dan berputar tiba2. Dengan gemetar, aku mencoba mencapai bagian belakangnya, namun tak bisa. Ia benar, aku harus memasukkan seluruh tubuhku ke sana.

“Ayo, cepat masuk ke dalam sana!” ia bersikeras. Aku bisa merasakan sedikit nada bersemangat di dalam suaranya.

Aku mencoba mencondongkan badanku beberapa inci maju. Di dalam ruangan sempit itu aku bisa melihat piston dan tabung di dekat kepalaku. Tak ada tanda2 kunci inggris itu benar2 ada di bagian belakang mesin itu. Aku mulai merasa takut. Ia bisa saja menutup pintu kap mesin begitu aku berada di dalamnya, memerangkapku. Dan begitu aku di dalam, mesin ini bisa menyala dan semua gerigi2 ini akan melindasku dan memotong-motong tubuhku.

Tak ada pekerjaan yang setimpal dengan semua ini.

Aku mengeluarkan tubuhku dari mesin itu.

“Maaf, Bung. Saya harus pergi ...”

Setelah mengucapkan permisi sesopan mungkin, aku berlari menuju ruang resepsionis dan keluar. Perasaanku sangat lega setelah merasakan udara malam yang dingin di luar. Aku berpikir sambil mengemudi pulang, apakah ketakutanku terlalu berlebihan sehingga aku menolak sebuah kesempatan untuk memiliki pekerjaan? Saat tiba di rumah, rasa takutku mulai pudar. Aku mulai merasa bodoh dan mungkin telah menyinggung perasaan pria tua malang itu.

Ketika aku memeriksa komputerku, ada sebuah email tentang wawancara pekerjaan. Darahku membeku dan serasa berhenti mengalir ketika aku membacanya. Itu email dari pria itu. Email itu berisi permintaan maaf.


Ia telah mengirimkan panggilan wawancara ke alamat yang salah.

No comments:

Post a Comment