Tuesday, August 4, 2015

Creepy Pasta : NikuShiba2

NikuShiba2

*Ini Versi 2 nya dari NikuShiba. Hampir Sama Sih.... :v

Source: Mandokusa
(ini adalah Versi ke 2 dari cerita ini)
***
Aku berkunjung ke Jepang, ketika Musim panas.
Aku mendapatkan kabar, bahwa ada Restoran di tengah hutan yang sangat menjaga adat tradisi budaya asli dari Negara yang terkenal dengan bunga sakuranya ini, termasuk olahanya tentang kuliner yang kabarnya sudah melegenda.
Namun, ketika pertama kali aku menginjakkan kaki disini, aku mencoba bertanya pada penduduk local yang ku temui, aku mengatakan kepada mereka tentang “Nikushiba”. Namun tidak ada satupun orang yang mengerti, awalnya aku pikir, mereka tidak tahu karena terkendala oleh bahasaku, akan tetapi meskipun aku bertanya pada seseorang yang memandu wisata kami dimana dia menjelaskan tentang Sejarah Gunung Fuji. Dia juga mengatakan tidak pernah mendengarkanya sebelumnya. Satu-satunya yang mereka katakan, adalah tidak ada Restoran di tengah hutan.
Hutan di bawah gunung Fuji sangat terkenal karena menyimpan sebuah kengerian yang tidak wajar. Banyak orang-orang mati gantung diri disini, mereka memilih bunuh diri di hutan lantaran kabarnya, disini adalah tempat yang tenang untuk bersemayam. Umumnya mereka yang bunuh diri adalah mereka yang tidak sanggup menahan malu karena perbuatan mereka, atau mungkin kesalahan yang mereka buat, namun tetap saja, meskipun pemerintah melakukan pencegahan besar-besaran, masih banyak tercatat kasus bunuh diri disini.
Aku memutuskan untuk turun dari bus, saat berada di zona Hutan Lindung. Disana, ada sebuah jalan yang mengarah pada puncak gunung Fuji. Informasi yang ku dapat, aku harus berjalan masuk dan menelusurinya.
Aku sudah mempersiapkanya jauh-jauh hari.
Aku mulai berjalan sendirian menelusuri hutan yang kelam. Tidak ada yang bisa ku lihat, bahkan tidak ada suara burung berkicau layaknya hutan-hutan yang pernah ku singgahi.
Aku terus berjalan, sampai akhirnya aku terjatuh akibat kelelahan. Aku bersandar pada Pohon besar, dan meneguk air yang tersisa di tasku. Ketika aku sedang menikmati keindahan panorama alam disini, aku melihat seseorang sedang mendorong gerobak, sontak aku berdiri, dan membantunya untuk mendorong.
Pria tua itu hanya diam saja dan terus mendorong tanpa memperdulikanku. Aku begitu penasaran, apa yang di lakukan pria tua dengan gerobak di dalam hutan. Aku juga begitu penasaran apa yang ada di dalam gerobak ini, aku mencoba berkomunikasi dengan pria itu, namun dia hanya menatapku datar. Kemudian, entah apa yang ku pikirkan sebelumnya, tiba-tiba aku mengatakan, “Nikushiba”.
Pria itu tiba-tiba berhenti, dan mengatakan “ikuti saya tuan—“ aku cukup terkejut dia bisa berbicara dan mengerti ucapanku.
Aku mencoba membuka obrolan, “jadi tuan—apa itu Nikushiba?”
Pria itu hanya diam, tak menjawab pertanyaanku. Mungkin dia tidak ingin membicarakanya, aku kembali mencoba membuka percakapan “ngomong-ngomong apa yang anda lakukan di tengah hutan seperti ini dengan gerobak? Anda pedagang. Dan apa ini adalah dagangan anda”
Pria itu masih tidak mau menjawabnya.
Aku terpaksa mengikutinya dengan perasaan tidak enak, tidak ada percakapan selama perjalanan, sampai aku melihat sebuah Paviliun di tengah-tengah hutan. Sangat besar, dan terjaga.
Ketika aku melangkah masuk, aku melihat banyak orang sepertiku. Mereka turis yang sedang menikmati sajian lezat di depan mereka dengan lahap, wajah mereka tampak senang dengan bergurau bersama-sama. Ketika aku akan berjalan menuju mereka, pria tua itu, menarik lenganku. “Kamar anda di sebelah sini Tuan?”
Aku masuk ke dalam kamar, dengan pemandangan yang langsung mengarah pada megahnya Gunung Fuji. Beberapa saat kemudian, banyak pelayan masuk dan menyajikan makanan olahan daging yang berlimpah di depanku, mereka menuangkan sake, kemudian memberitahu bagaimana cara menikmati makanan tradisional ini.
Aku mulai mencobanya. Daging merah dengan bumbu cabai pedas, ketika aku merasakanya. Kelembutan yang tak pernah ku rasakan seketika memanjakanku. Ini sangat nikmat, sangat luar biasa. Pelayan wanita mulai menuangkan sake mereka kepadaku. Aku seperti tidak berada di duniaku lagi. Ini lebih dari hal yang tidak bisa ku jelaskan lebih jauh.
Tanpa ku sadari, perutku sudah penuh, dan aku tidak bisa memasukkan apapun lagi ke dalam perutku. Beberapa saat kemudian, pria tua itu berjalan masuk dan duduk di depanku, seketika aku berdiri, dan dia bertanya apakah aku cukup puas.
Aku bersemangat dengan mengatakan “tentu saja—ini sangat nikmat”
“ngomong-ngomong. Bagaimana anda bisa mengelola restoran di dalam hutan?? Maksudku, restoran anda akan sangat terkenal bila tempatnya mudah di temukan”
Pria tua itu mengatakan “kami tidak membutuhkan uang, kami tidak membutuhkan nama. Kami disini untuk menjaga sebuah tradisi, Nikushiba adalah tradisi kami”
“apa itu Nikushiba? “ aku kembali mengajukan pertanyaan itu.
“kau benar-benar ingin mengetahuinya??” ucapnya dingin.
“ya” jawabku.
“ikutlah denganku” pria itu berdiri dan membawaku menelusuri lorong, aku tidak pernah menyangka, Paviliun ini sangatlah luas. Lebih luas dari perkiraanku sebelumnya.
“Nikushiba adalah tradisi turun temurun yang di jalankan oleh keluarga kami, ini berujuan agar para Dewa yang ada di gunung Fuji tidak murka terhadap negri kami. Jadi, ini adalah Tradisi. Sebuah budaya yang kami jaga”
Aku masih mendengarkan dia berbicara, ketika kami sampai di ujung lorong, aku melihat banyak pintu khas Negara Jepang kebanyakan, pintu geser, “apakah anda tahu, resep dari makanan olahan kami?”
“tidak” aku menggeleng kepadanya. Dia tersenyum dan kemudian menggeser pintu.
“ini adalah Resep Daging yang kami olah, masih segar, dan tentu saja.. masih Fresh” ucapnya.
Aku mematung, dan mengangah di depan pintu, saat melihat seorang pria tanpa busana, di gantung dengan jeroanya di potong oleh wanita-wanita pelayan, mereka menguliti tubuh pria itu dengan sangat terampil seperti menguliti Rusa.
Mereka juga mengalirkan darahnya pada baskom layaknya binatang.

Dan kau tahu, apa yang lebih buruk dari semua ini. “Pria yang mereka kuliti, adalah salah satu Turis yang aku lihat tadi, yang sedang menikmati makananya” saat, aku menatap pria tua itu lagi. “Sesuatu menghantam keras kepalaku”

No comments:

Post a Comment