Monday, August 3, 2015

Creepy Pasta : The Thing That Will Kill Me

The Thing That Will Kill Me
(Sesuatu yang akan Membunuhku)

Penulis: Will Rogers

Creepypasta ini menceritakan seorang gadis yang mendapatkan ramalan tak masuk akal tentang kematiannya dari seorang ahli nujum. Dia tak mempercayainya hingga suatu hari ramalan itu menjadi nyata.

Aku tumbuh di sebuah kota kecil di Vermont. Kecil dalam ukuran populasi, bukan dalam ukuran wilayah. Ada ladang berhektar-hektar dan area hutan yang tak terhingga luasnya. Lebih banyak sapi daripada manusia di sini, sebuah standar bagi kebanyakan kota kecil di Vermont. Jadi, bisa kalian bayangkan, tidaklah terlalu menyenangkan tumbuh di sini. Hanya satu kata saja cukup untuk menggambarkan kondisi di sini: membosankan.

Tak banyak anak2 seumuran di kota ini. Sahabat terbaikku adalah Lisa, yang berumur setahun lebih tua dariku. Kami menghabiskan sebagian besar waktu kami bermimpi tentang hidup di luar kota Vermont. Orang2 di desa kami benar2 aneh. Berbeda dengan di tempat lain. Satu hal yang tak kusadari tentang penduduk kota kecil adalah betapa percayanya mereka terhadap hal2 yang berbau takhyul. Mereka percaya dengan hal2 gaib, termasuk paranormal. Mereka percaya pada Luvia.

Luvia adalah perempuan tua berdarah Prancis-Kanada yang pindah ke vermont bersama suaminya. Ada yang bilang ia gypsi. Ada yang bilang ia adalah peramal. Bahkan, orang tuaku sendiri percaya padanya. Suatu hari, ibuku kehilangan cincinnya. Ibuku sudah mencarinya kemana-mana. Mereka memanggil Luvia dan ia mengatakan cincin itu berada “di bawah kayu tua yang membusuk”. Mereka mencari ke halaman belakang dan ayahku menemukannya di bawah sebuah piano kayu tua yang teronggok dan sudah ditumbuhi jamur.

Setelah mendengar banyak mengenai Luvia dari penduduk kota lainnya yang menganggap dia 100% dapat dipercaya, Tina dan aku memutuskan untuk menemuinya suatu sore. Kami ingin ia memberitahu kami tentang “masa depan” kami. Namun aku sendiri sebenarnya skeptis. Saat itu, semuanya terlihat seperti sebuah lelucon atau hiburan bagi kami.

Jadi, kami pergi ke rumahnya sore itu dan ia membuka pintu di saat kami masih berjalan mendekati halaman depan rumahnya. Bahkan kami belum sempat sampai ke depan pintu dan mengetuk. Tina menyikut rusukku dan berbisik bahwa Luvia pasti benar2 peramal tulen. Ia bahkan sudah tahu kami datang sebelum kami tiba di rumahnya! Aku berbisik balik padanya dan mengatakan bahwa itu mungkin karena rumahnya punya banyak jendela dan ia bisa melihat kami datang dari kejauhan.

Aku merasa agak aneh ketika mendekatinya. Ia wanita tua yang menakutkan, hampir tampak seperti nenek sihir. Namun ia tersenyum dengan ramah menyambut kami. Kami kemudian mengatakan bahwa kami tertarik dengan kemampuannya “membaca masa depan” dan menyerahkan padanya uang 20 dolar. Ia setuju dan mengatakan siapa yang akan lebih dulu.

“Apa yang bisa Anda katakan mengenai kehidupan cintaku?” tanya Tina.

Luvia tak memiliki bola kristal ataupun kartu tarot. Ia hanya menutup matanya sejenak dan diam selama 2 menit, kemudian mengambil napas dalam-dalam dan berkata, “Michael Carten.”

Tina menatapnya selama beberapa detik dan Luvia mengulang, “Michael Carten. Itu nama pria yang akan menjadi suamimu.”

Tina berterima kasih dan mengulangi nama itu berkali-kali. Michael Carten. Michael Carten. Michael Carten. Kemudian Luvia berpaling ke arahku.

“Apapun yang Anda katakan, saya ingin mendengarnya dengan senang hati.” Katanya, “Tidak harus tentang kehidupan asmaraku.”

Luvia menutup matanya selama beberapa detik, namun wangsit yang ia dapatkan tampaknya datang lebih cepat ketimbang visinya tentang suami Tina. Ia menatapku tajam ke dalam mataku, menggenggam tanganku, dan mengatakan.

“Sesuatu yang akan membunuhnya sedang menanggalkan kulitnya.”

“Sesuatu yang akan membunuhnmu sedang mengasah giginya.”

“Sesuatu yang akan membunuhnmu sedang membersihkan darah dari antara cakar-cakarnya.”

“Sesuatu yang akan membunuhnmu sedang mengumpulkan kulit.”

“Sesuatu yang akan membunuhmu ... kau takkan melihatnya datang.”

Kami beriga membisu selama sejenak. Aku merasa sakit. Gemetar. Luvia menatap kami seolah ia menyesal mengatakan hal itu kepada kami.

“A ... apa ada yang bisa kulakukan untuk menghentikannya?” tanyaku.

Luvia mengembalikan uang kami. “Aku takkan menarik uang untuk ramalan kali ini. Kalian berdua, cepatlah pulang!”

Aku dan Tina segera meninggalkan rumah Luvia tanpa mengatakan sepatah katapun. Dalam perjalanan pulang pun kami masih membisu. Tina baru saja menemukan nama cinta sejatinya dan aku mendapatkan pesan penuh teka-teki tentang kematianku. Aku masih berumur 12 tahun saat itu. Aku ketakutan setengah mati.

Ketika Tina meninggalkan serambi rumahku, ia mencoba menghiburku, “Bagaimana dia bisa tahu dengan siapa aku menikah,” katanya sambil tertawa, “Dan seekor monster tidak akan memakanmu. Berganti kulit, mengasah gigi, darah di cakarnya, itu sama sekali tak masuk akal. Lupakan saja omong kosong nenek itu!”

Selama bertahun-tahun aku memikirkan ramalan itu. Makhluk yang menanggalkan kulitnya. Makhluk dengan gigi yang tajam. Makhluk yang berlumuran darah. Makhluk dengan cakar yang runcing. Makhluk yang akan membunuhku, aku selalu merasa ia mengawasiku dari mana-mana. Dari antara pepohonan saat malam. Dari bawah timbunan salju. Menunggu di luar jendela kamarku. Setiap malam sebelum aku tidur, aku selalu merasa melihatnya. Kulit, gigi taring, darah, cakar, aku selalu mencarinya.

Tapi aku tak pernah menemukannya.

Ketika aku berumur 18 tahun, aku pindah ke California untuk kuliah, untuk menjauh dari Vermont dan apapun yang akan membunuhku. Akupun berhenti merasakannya dimana-mana. Mungkin, apapun itu, ia tetap tinggal di Vermont. Bahkan mungkin, ia tak pernah ada. Semua orang di California yang kuceritakan tentang hal itu selalu tertawa, dan akupun berhenti mempercayai ramalan itu. Itu hanya igauan seorang wanita gipsy, tak mungkin nyata.

Ketika aku berumur 27 tahun, sebuah undangan pernikahan tergeletak di kotak suratku. Tina ternyata akan menikah! Aku saat itu tinggal di California dan hampir tak pernah ada kontak dengan Tina semenjak aku pergi. Ia terasa seperti bagian dari masa laluku.

“Anda diundang ke pernikahan Tina dan Michael Carten ...”

Tunggu. Tidak. Tidak mungkin!

Ini pasti tidak ada hubungannya dengan ramalan Luvia. Ramalannya tak mungkin nyata. Tidak ada yang namanya peramal atau kemampuan melihat masa depan!

Aku pergi ke pernikahan mereka. Tina, aku, dan Michael, semuanya tertawa dengan semua ramalan itu. Tentu saja ramalan itu tak mungkin benar. Tina dan Michael menganggap semuanya hanyalah lelucon yang akan mereka ceritakan pada anak2 mereka di masa depan.

“Beritahu kami kalau kau bertemu dengan monster bergigi tajam yang berganti kulit, oke?” kata Tina sambil bercanda. Kami semua berpikir bahwa ini semua hanyalah kebetulan belaka ia bisa menikah dengan seorang pria bernama sama seperti yang diramalkan Luvia.

Aku meninggalkan pesta pernikahan dengan berusaha mempercayai bahwa “sesuatu yang akan membunuhku” tak mungkin sungguhan. Monster itu tak ada. Aku melihat di balik pohon, di balik mobil. Tak ada yang sedang menantiku di sana. Tak ada yang bersiap-siap untuk mengulitiku. Aku tak tahu kenapa aku begitu takut sekian lama.

Salah satu hal hebat dari pernikahan Tina adalah peristiwa itu membawa kami kembali dekat seperti dulu. Dia bahagia hidup bersama Michael di Vermont. Ia selalu mengirim email kepadaku, mengatakan tentang segala hal yang terjadi di kota kecil itu. Populasinya dengan perlahan meningkat. Mereka membangun sekolah2 baru. Dan juga gosip2 lainnya.

Juga berita kalau Luvia meninggal.

Bertahun-tahun kemudian, aku semakin jarang menerima email dan telepon darinya. Ia terlihat sangat sibuk. Hingga suatu titik aku mulai merindukannya karena tak mendapatkan sedikitpun kabar darinya. Pada malam natal, aku memutuskan mengunjungi rumah orang tuaku untuk liburan dan mampir sebentar di kediaman Tina dan suaminya. Aku biasanya tak melakukan ini, namun ia tak pernah menjawab teleponku dan aku sangat ingin menemuinya saat itu.

Aku memarkirkan mobilku di depan rumah mereka. Ada dua mobil di parkiran sehingga aku menduga mereka berdua ada di rumah. Aku turun dari mobil dan menekan bel pintu. Michael membukanya, berpakaian dengan jas tebal, seolah-olah ia baru saja berasal dari luar. Ia mengundangku masuk. Ia tampak sangat terkejut melihatku dan bertanya apakah aku berbicara dengan Tina akhir2 ini.

“Belum, bahkan selama beberapa bulan kami tak pernah berkomunikasi. Maaf tiba2 mengunjungi kalian seperti ini, tapi apakah aku bisa bertemu dengannya?”

“Oh, aku pikir kau sudah tahu,” jawab Michael, “Dia meninggalkanku. Beberapa bulan lalu. Ia pergi dan tak pernah lagi berbicara denganku sejak saat itu.”

“Oh, Tuhan ... Maaf, aku benar2 tidak tahu ...”

Ia melepaskan mantelnya dan menggantungkannya dekat pintu.

“Maaf, aku harus mandi dulu sekarang. Aku baru saja dari luar. Bisakah kau menunggu sebentar?”

Ia melepaskan sepatunya lalu menanggalkan sweaternya. Lalu ia berjalan menuju ke kamar mandi. Aku duduk, melihat-lihat rumah mereka.

“Tentu saja tidak. Apa kau tahu kemana ia pergi?”

“Tidak,” teriaknya dari dalam kamar mandi, dengan mulut penuh busa pasta gigi, “ia tak pernah meneleponku sekalipun semenjak ia pergi.”

“Aku sedih mendengarnya.”

Aku mendengarnya berkumur dan ketika ia melihatku memandanginya dari kaca kamar mandi, ia menutup pintu kamar mandi untuk mendapatkan privasi. Ketika aku mendengar suara shower dinyalakan, aku berniat mengambil handphone untuk melihat SMS terakhir yang ia kirimkan. Mungkin saja itu akan memberikan petunjuk dimana ia berada. Namun ketika aku mengambilnya dari dalam tas, benda itu terjatuh. Ketika aku berusaha mengambilnya, aku melihat sesuatu di bawah sofa.

Gumpalan rambut.

Warnanya cokelat, sama seperti rambut Tina.

Namun anehnya, rambut2 itu tampak seperti dicabut dari kulit kepalanya.

Dan ada sedikit noda darah di sana.

“Sesuatu yang akan membunuhnya sedang menanggalkan kulit.”

Aku melihat pintu kamar mandi yang tertutup.

“Sesuatu yang akan membunuhnmu sedang mengasah giginya.”

Aku mendengarnya tadi menggosok gigi.

“Sesuatu yang akan membunuhnmu sedang membersihkan darah dari antara cakar-cakarnya.”

Aku sedang mendengarnya membersihkan diri di bawah pancuran.

“Sesuatu yang akan membunuhnmu sedang mengumpulkan kulit.”

Aku menatap sedikit kulit yang masih menempel di gumpalan rambut itu.

Ya Tuhan ... Sesuatu yang akan membunuhku!

Aku mendengar suara pancuran berhenti. Gerakan dari dalam kamar mandi.

Aku lari. Keluar dari pintu. Membanting pintu. Berlari sekuat tenaga ke mobil. Masuk ke mobil. Gemetar. Memperhatikan pintu. Tanganku berjuang dengan kencang. Gemetar. Gemetar. Pintu rumah terbuka. Mobilku menyala. Aku mengendarainya secepat mungkin. Aku tak menoleh ke belakang. Sepanjang malam. Aku yak tahu apa ia mengikutiku. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku tak tahu apa yang kulihat tadi. jantungku tak lagi berdetak dengan normal hingga aku tiba di rumah, berkendara sepanjang malam hingga melintasi dua negara bagian. Aku pulang.

Itu sebulan yang lalu. Aku menelepon polisi. Mereka menyelidiki, namun tak menemukan apapun. Mereka yakin Tina hanya meninggalkannya dan pindah ke tempat lain.

Mungkin memang begitu. Mungkin ia sudah kabur dan aman sekarang. Mungkin takkan ada yang mengejarku. Mungkin Michael adalah pria malang yang ditinggalkan istrinya. Mungkin tak ada sesuatu yang berada di belakang pepohonan, di bawah salju, di bawah mobil, di luar pintuku saat malam, di luar jendela. Mungkin tak ada. Tak ada.

Aku selalu teringat kalimat terakhir dalam ramalan Luvia.


“Sesuatu yang akan membunuhmu ... kau takkan melihatnya datang.”

No comments:

Post a Comment