Tuesday, October 11, 2016

I Regret Ever Working in South Pole (4)

I Regret Ever Working In South Pole

part 4

Sebutir air mata menetes setelah dia mengucapkannya. Aku belum pernah melihatnya seperti itu. Tapi aku tahu maksudnya. 'Dibbuk' adalah salah satu sebutan untuk iblis dalam bahasa Ibrani.

"Ayolah, kau tak bisa percaya kalau..."

"Tidak!" Serunya tiba-tiba, memotong kata-kataku. "Kau juga pasti tahu kalau ada yang salah dengan tempat ini! Membuatmu gila! Minggu-minggu pertama, aku mendengar langkah kaki di kamar mandi setiap pagi, sebelum aku menyadari kalau aku sendirian!"

"Dengar," ujarku tegas, menaruh tanganku di bahunya. "Kita akan baik-baik saja."

Aku berharap aku jujur sepenuhnya saat berkata begitu, tapi sejujurnya, peti itu memang memberi perasaan aneh. Malam itu, aku terbangun oleh suara langkah kaki yang nyaring, cukup nyaring sehingga aku bisa mendengarnya lewat earphone-ku. Aku mengecek keadaan di luar kamarku, tapi tidak ada siapa-siapa. Samar-samar, aku mendengar isak tangis dari kamar si pasangan suami istri, tapi aku tak mau mengganggu mereka. Ini memang masa-masa yang sulit.

Ketika aku kembali ke kamarku, aku berjalan melewati kafetaria...dan melihat pemandangan paling mengerikan yang pernah kulihat seumur hidupku.

Semua meja dan kursi nampak berantakan dan terbalik. Makanan berceceran di tembok dan langit-langit. Di tengah-tengah ruangan, ada salib besi besar berkarat...dengan tubuh Jack terpaku di sana. Dia berlumuran darah dari kepala sampai kaki, dan matanya nampak seolah semua pembuluhnya meletus. Kawat berduri membelit lengan dan kakinya, dan pasak-pasak besar menembus pergelangan lengan dan kakinya.

Mata kami bertemu, dan mendadak tubuhnya bergetar, lantas mulutnya terbuka dan mengeluarkan teriakan,

"BELPHEGOR!"

Detik berikutnya, aku lepas kendali. Aku terjatuh ke belakang, lantas merangkak keluar sambil menjerit kuat-kuat. Semua orang langsung keluar dari kamar dengan bingung, bertanya apa yang terjadi. Aku menyadari kalau aku buang air di celana. Dengan gemetar dan berurai air mata, serta napas tersengal, aku menunjuk ke dalam kafetaria.

Tapi di dalam tidak apa-apa. Semuanya normal. Tidak ada kekacauan. Tidak ada salib. Tidak ada Jack.

Tiga jam kemudian, aku tersadar di sofa ruang rekreasi, tubuhku tertutup selimut. Jane, si terapis wanita, tertidur di sofa lain di depanku. Aku yakin dia pasti kecewa melihat sikapku yang tidak profesional. Ketika aku berdiri, semua orang nampaknya sudah tidur, sementara badai salju masih menderu di luar. Aku berjalan menyusuri lorong dan mendengar isak tangis dari kamar pasangan suami istri ahli geologi. Aku menyadari bahwa mereka mungkin perlu pertolongan. Aku mengetuk pintu mereka dengan lembut, namun suara tangisan tetap berlanjut. Aku hendak mengulang ketukanku, namun tiba-tiba merasa sangat mual. Aku lari ke kamar mandi dan muntah di kloset. Ketika berdiri sambil mengusap mulut, aku melihat sekelebat bayangan meninggalkan kamar mandi, tinggi dan gelap.

"Cukup sudah," pikirku, dan memutuskan kembali ke kamarku. Tidurku gelisah malam itu, dan aku terbangun ketika seseorang mengguncang lenganku.

"Bangun."

Pelan-pelan, aku berusaha memfokuskan pandangan, sebelum melihat salah satu anggota tim maintenance berdiri di atasku.

"Lampunya mati, dan ada orang yang hilang."

Aku berdiri dengan grogi, tapi dia sudah keluar. Aku mendengar suara-suara dari kafetaria dan bergegas ke sana. Ketika aku masuk ke kafetaria, lilin dinyalakan di beberapa meja. Aku melihat si ahli biologi, Jane si terapis wanita, si dokter Finlandia, dan orang maintenance yang satu lagi. Mereka melihatku, dan si orang maintenance bertanya,

"Wah, wah, coba lihat siapa ini. Mau menakut-nakuti kami lagi, pak pendeta?"

Aku tidak tersenyum atau menyahut. Aku duduk di sebelah si dokter dan bertanya mana si suami istri ahli geologi.

"Mereka tidak menjawab ketika aku mengetuk," ujar Jane, matanya nampak tua dan lelah. "Si terapis yang satu lagi juga tidak ada."

"Kita akan pergi," ujar si ahli biologi. "Setelah badai salju berhenti, kita pergi. Persetan dengan kontrak."

"Bagaimana caranya? Kita berjarak ribuan mil dari pangkalan terdekat," aku benci jadi orang yang negatif, tapi aku tak mau kami mempertaruhkan nyawa hanya karena demam kabin begini.

"Aku punya ide," ujar si orang maintenance yang membangunkanku tadi, "kita punya kendaraan seluncur. Kita akan muati dengan semua jerigen bensin yang kita punya, lalu kita pergi sejauh 50 mil ke pos kecil terdekat yang punya sambungan radio. Kita punya GPS, dan kita akan pergi bergiliran."

"Semua setuju?" Tanya si dokter. Semuanya mengangguk.

"Kalau begitu," lanjutnya, "sebaiknya kita tinggal dulu di sini selama beberapa hari, mudah-mudahan anggota tim yang hilang kembali. Kalau mereka tidak ada...yah, sebaiknya kita minta maaf pada mereka di neraka."

Hari-hari berikutnya, aku menghabiskan waktu dengan pikiran berkabut. Aku tak tahu kenapa, tapi kami semua begitu gelisah. Kami duduk bersama di kafetaria yang gelap, saling berdekatan. Kami mencoba mengobrol untuk mengisi keheningan. Cahaya lilin seolah memainkan trik di depan mata kami, namun kegelapan di sekeliling kami terasa sangat menekan. Kami hanya duduk, dan menanti.

Akhirnya, Jane menyeletuk bahwa kami sebaiknya memeriksa keadaan suami istri ahli geologi itu. Kami berjalan berdekatan, dan mendengar suara isak tangis dari kamar mereka.

Jane mengetuk. Menunggu. Mengetuk lagi. Kemudian dia berseru bahwa dia akan masuk, tapi pintunya terkunci. Salah satu orang maintenance menggedor-gedor pintu, dan akhirnya mengancam akan mendobrak masuk. Akhirnya, dia memutuskan mengutak-atik kuncinya. Setelah berhasil, dia membuka pintu perlahan-lahan.

Pemandangan di dalam adalah mimpi buruk.
Hal pertama yang kulihat adalah darah dimana-mana. Di dinding, kasur, langit-langit, dan lantai. Darah memercik ke lampu yang menyala dan membanjiri kamar dengan sapuan warna merah. Si ahli geologi pria terbaring di kasur. Matanya melotot dan mulutnya menganga dalam ekspresi terkejut. Tenggorokanya koyak, dan kakinya nampak seolah sudah dikunyah-kunyah sampai ke tulang-tulangnya. Istrinya duduk di sampingnya dengan punggung menghadap kami. Ketika dia berbalik, dia juga berlumuran darah. Dia masih menangis, sambil mengunyah sesuatu. Serpihan daging sesekali muncrat keluar dari mulutnya saat dia terisak. Ekspresinya mendadak berubah dari sedih menjadi marah. Dia membuka mulutnya untuk menjerit, namun yang keluar hanyalah suara-suara tercekik dan semakin banyak serpihan daging.

Si orang maintenance langsung mundur karena panik, dan menutup pintunya.
"Tahan pintunya!" Seru si dokter. Kami buru-buru pergi ke kafetaria dan menarik beberapa meja, menumpuknya di depan pintu untuk menghalangi...makhluk buas apapun yang ada di kamar itu.

Ketika kami lari ke ruang rekreasi, semuanya menangis, dan Jane meringkuk di lantai sambil gemetar ketakuran.

"Kita pergi besok," ujar si dokter akhirnya, suaranya bergetar.

Badai salju masih menggila di luar. Aku merasa angin yang kencang mengeluarkan suara seolah mengejek kami. Aku pasti tertidur, karena yang kuingat kemudian hanyalah terperanjat bangun saat mendengar suara ledakan di luar. Kami buru-buru bangkit berdiri dan memanjat tangga yang menuju ke dek observasi. Di luar, kami melihat kegelapan tanpa batas...kecuali kobaran api raksasa beberapa meter jauhnya dari kami.

SUV kami terbakar, dan jerigen-jerigen bensin ditumpuk di atasnya. Dan di balik kobaran api, di atas atap SUV, kami melihat...seseorang. Seseorang yang berdiri telanjang bulat.

"Oh Tuhan," ujar si ahli biologi. "Jane!?"

Orang itu Jane. Dia terbakar api. Lolongannya bergema di tengah badai salju. Kami hanya bisa menatap nanar ketika api akhirnya melahap seluruh tubuhnya, dan jeritannya menghilang.

Kami perlahan turun kembali, merasa semakin tak berdaya. Kami duduk di ruang rekreasi, dan tak ada seorangpun yang bicara. Si ahli fisika nampaknya tidak keluar dan masih di kamarnya. Si terapis pria masih hilang. Aku merasa mendengar langkah-langkah kaki di kamar-kamar yang kosong, namun aku sudah menyerah. Kalau aku harus mati di tempat ini, biarlah. Kami duduk berdempetan sambil membungkus diri dengan jaket dan selimut. Lilin menjadi satu-satunya sumber penerangan kami. Aku mencoba menutup mataku sekuat-kuatnya supaya tak perlu melihat bayang-bayang gelap yang ditimbulkan cahaya lilin.
To be continued...

1 comment: