Sunday, October 9, 2016

I Regret Ever Working in South Pole (2)

I REGRET EVER WORKING IN SOUTH POLE

PART 2

Author: SamMardukx2

Source: Reddit No Sleep

Hari-hari kami biasanya cukup sepi. Kebanyakan kami melakukan urusan kami sendiri di ruangan masing-masing, termasuk makan siang (biasanya makanan beku yang dipanaskan). Aku kadang-kadang mengobrol dengan si dokter Finlandia. Dia penganut Buddha, jadi kami sering bermeditasi bersama setiap pagi di fasilitas medisnya, di bawah penerangan lampu pijar yang berdesis. Dia sering bilang kalau tempat itu memberinya perasaan aneh. Sulit sekali untuk berkonsentrasi di sini, di antara semen kelabu dan terkubur di bawah salju. Aku juga menyadarinya selama beberapa lama. Kalau aku sedang sendirian dan semuanya sepi, aku berani sumpah aku bisa mendengar suara-suara berbisik. Setelah satu insiden dimana aku mendengar bisik-bisik itu dengan lebih jelas, aku mulai mengenakan headphone. Mereka membantuku sedikit mengisi telingaku dengan suara-suara menenangkan.

Pasokan persediaan untuk kami dikirimkan seminggu sekali di sebuah pangkalan pesisir yang jauhnya ratusan mil. Isinya barang-barang seperti makanan, air, rokok dan wiski. Siapapun yang membayar untuk ekspedisi ini benar-benar banyak uang, tapi aku tidak pernah bertemu dengan klien kami. Aku hanya dikontak oleh perwakilan mereka. Sepertinya, orang yang membiayai ekspedisi ini sangat kaya, keras kepala, religius, dan benar-benar menaruh semua investasinya untuk ekspedisi ini. Dia menginginkan kesuksesan, tapi tak ada seorangpun dari kami yang tahu apa tujuan akhir yang diinginkannya dari pendanaan ekspedisi ini.

Seminggu sekali, kami juga keluar menggunakan "snow-rover," SUV besar yang bisa dikemudikan di atas salju dan es. Kami akan mengambil sampel es serta memeriksa lokasi penelitian yang ditinggalkan kru sebelum kami. Aku tak bisa membayangkan kru macam apa yang datang ke tempat ini untuk membangun semua fasilitas ini untuk pertama kalinya, tapi aku yakin mereka pasti dibayar gila-gilaan. Kadang-kadang, kami juga keluar sekedar untuk melihat matahari, tapi biasanya hanya kru yang berkepentingan dengan tugas penggalian yang pergi. Kemanapun kami melangkah, kami harus selalu memakai tali pengaman yang dikaitkan dengan SUV, untuk mencegah terpeleset di atas es.

Peristiwa buruk itu terjadi setelah dua bulan masa tinggal kami di fasilitas ini. Hari itu, tim yang pergi keluar adalah pasangan suami istri ahli geologi, si wanita kulit hitam ahli biologi, dan satu orang anggota tim maintenance. Mereka pergi dengan bersemangat. Akan tetapi, setelah berjam-jam, mereka kembali dalam keadaan terguncang. Mereka menerobos masuk ke ruang rekreasi ketika aku sedang duduk di sana dengan si terapis wanita. Salah satu ahli geologi langsung lari ke kamarnya, dan suaminya mengejarnya. Kami bertanya apa yang terjadi kepada si ahli biologi, yang menangis. Si terapis pria masuk tanpa suara, dan langsung menyuruh wanita itu untuk masuk ke kantornya.

Si dokter Finlandia kemudian menerobos masuk dan berseru, "apa yang terjadi!?"

"Aku tidak tahu," ujar si terapis wanita. Dia cemas, sama sepertiku.

"Mana Jack? (nama si anggota tim maintenance yang mengemudikan SUV). Tunggu dulu, di mana mobilnya?" Tanyaku, membuka pintu yang menuju keluar. Aku tidak melihat apa-apa kecuali tiang bendera, jejak-jejak kaki panjang, serta bermil-mil es yang berkilau putih di bawah matahari.

Kami duduk berjam-jam di ruang rekreasi, tapi si suami istri ahli geologi dan si ahli biologi berada di ruangan si terapis pria. Kami mendengar suara-suara panik dari balik pintunya. Akhirnya, mereka semua keluar. Kedua ahli geologi langsung masuk kamar mereka tanpa bicara. Si ahli biologi duduk di salah satu kursi lipat dekat kami. Si terapis pria berdiri di belakangnya. Wanita itu jelas sudah menangis sejak kembali.

"Kami sampai di lokasi itu tepat waktu," ujar si ahli biologi, berusaha menenangkan diri. "Lokasi penggalian itu...kami tiba pukul 7 alih-alih pukul 8, jadi kami bisa bekerja lebih awal. Mulanya semuanya oke-oke saja. Jack tetap di SUV dan mengawasi tali pengaman. Aku sedang sibuk memahat sampel es, sampai aku mendengar kedua orang itu memanggil-manggil kami dari lubang dalam yang mereka jelajahi. Aku ikut meluncur masuk ke lubang itu; dalamnya sekitar 30 meter. Mereka rupanya menemukan sesuatu di balik permkaan es.

"Kami menggali bersama-sama dan menemukan peti kayu berkunci yang besar. Kami pikir benda itu ditinggalkan oleh anggota tim penggalian sebelumnya, tapi desainnya nampak sangat tua. Seperti sesuatu yang berasal dari jaman Perang Dunia Kedua. Petinya berat dan terkunci.

"Kami menarik tali untuk memberi isyarat pada Jack, tapi dia tidak merespon. Kami memanggil-manggilnya, tapi dia tak menjawab. Kami tak bisa melihatnya dari sudut pandang kami. Setelah sepuluh menit berteriak-teriak, akhirnya kami memanjat ke atas menggunakan perlengkapan kami. Kami menggunakan sisa tali untuk mengangkat peti itu. Ketika kami sampai di atas, Jack tidak ada. Kami mencari di sekitar tempat itu, tapi tak menemukannya. Kami mengecek kalau-kalau ada lubang di es atau jejak kaki, tapi tak ada apapun. Kami menaruh peti itu di SUV, lalu melanjutkan mencari. Kemudian, kami melihat sesuatu. Ketika kami memanjat ke atap SUV untuk sudut pandang yang lebih baik, kami melihat pesan yang ditorehkan di atas salju. Tulisannya: 'LARI.'"

Kami tercengang menatapnya, dan dia mulai menangis lagi. "Kami panik. Kami langsung pergi, tapi tak ada seorangpun dari kami yang bisa mengoperasikan kendaraan yang dirancang untuk melaju di atas es. Kami menabrak, sekitar satu mil ke selatan dari sini. Kami berjalan kaki ke sini. Petinya masih ada di mobil, dan Jack masih hilang."

Dia kemudian menangis, dan pergi ke kamarnya. Jack masih belum menjawab panggilan radio, dan dia juga tidak menghubungi kami. Lokasi penggalian itu sejam berkendara dari tempat kami, dan kami berjarak ribuan mil jauhnya dari fasilitas lain. Kami benar-benar tak berdaya.
"Baiklah, lakukan yang penting dulu," ujar salah satu staf. "Kita harus mendapatkan kendaraan kita kembali."

Dia bersiap-siap, lalu bersama dengan anggota tim maintenance lainnya, pergi menggunakan mobil salju. Aku tidak tahu bagaimana mereka melakukannya, tapi mereka berhasil membawa pulang SUV itu kurang dari satu jam kemudian. Hari mulai gelap, dan kami tidak bisa mencari Jack karena berbahaya. Kami tidak tidur malam itu. Si pria aneh mirip tikus bahkan tidak masuk ke kamarnya. Dia cuma berkeliaran dan minum di bar. Aku berbaring di kasurku, mendengarkan musik dengan earphone untuk menghalau suara tangisan yang samar-samar. Aku menatap dinding beton. Kuburan beton di tengah-tengah zona es mati. Kami semua sendirian.

Aku ingat si dokter berkata sebelum masuk ke kamarnya: "kalau Jack masih hidup, dia akan lebih baik di luar sana."

To be continued...

No comments:

Post a Comment